Organisasi Islam di Indonesia adalah organisasi Islam di Indonesia yang
bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Keberadaaan
organisasi- organisasi Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
peranannya pada zaman perjuangan kemerdekaan. Peranan para ulama Islam yang
tergabung dalam berbagai organisasi akan perjuangan mencapai kemerdekaan sangat
besar dan tidak bisa diabaikan.
Berikut ini adalah organisasi-organisasi Islam yang dibentuk pada masa
sebelum kemerdekaan:
1.
Jam’iyatul Khair (1905 M)
Didirikan pada 17 Juli 1905 di Jakarta, organisasi
ini awalnya beraktivitas di bidang pendidikan dasar dan mengirim para pelajar
ke Turki dan merupakan satu- satunya organisasi pendidikan modern di Indonesia.
Guru-gurunya didatangkan dari Tunisia, Sudan, Maroko, Mesir dan Arab. Korespondensi
mereka dengan tokoh-tokoh pergerakan dan juga surat kabar di luar negeri turut
menyebarkan kabar mengenai kekejaman pemerintah Belanda. Guru yang terkenal
dari sini adalah Syaikh Ahmad Surkati
dari Sudan, yang menekankan bahwa tidak ada perbedaan di antara sesama umat
muslim yang berkedudukan sama. Para tokoh ulama Indonesia kebanyakan lahir dari
organisasi ini seperti KH. Ahmad Dahlan, H.O.S. Tjokroaminoto, H. Samanhudi,
dan H. Agus Salim.
2.
Syarekat Islam (1905 M)
Syarikat Islam Indonesia (SI-Indonesia) adalah
organisasi massa tertua yang berdiri sejak era kolonialisme, didirikan Oleh
Haji Samanhudi pada tanggal 16 Oktober 1905, awal berdirinya SI-Indonesia
benama Sarekat Dagang Islam (SDA), organisasi yang didirikan sebagai wadah perkumpulan
dan pergerakan bagi para pedagang muslim pribumi guna menandingi monopoli
pedagang Tionghoa masa itu, sikap imprialisme pemerintah kolonial Hindia
Belanda terhadap pedagang pribumi memembuat Haji Samanhudi yang juga berprofesi
sebagai seorang saudagar bergerak dengan cepat menyebarkan berita berdirnya
SDA, salah satunya melalui buletin Taman Pewarta (1902-1915).
Konggres Sarekat Islam yang Pertama di Surabaya pada
tanggal 10 November 1912. Namun setahun sebelumnya Sarekat Dagang Islam SDI
berganti nama menjadi Sarekat Islam, Pergantian nama juga merubah ruang
pergerakan Sarekat Islam dalam arti luas, mencakup berbagai aspek Sosial,
politik, ekonomi, pendidikan dan Keagamaan. Pergantian nama di tubuh Sarekat
Islam di bahas dalam Kongres Sarekat Islam yang Pertama di Surabaya pada
tanggal 20 Januari 1913
3.
Persatuan Umat Islam (1911 M)
Persatuan Umat Islam (PUI) didirikan oleh KH. Abdul Halim, yang merupakan seorang ulama pengasuh di
Pondok Pesantren Majalengka, Jawa Barat pada tahun 1911. PUI adalah gabungan
dari dua organisasi Islam yang ada di Jawa Barat yaitu Persyarikatan Umat Islam
dan organisasi Al-Ittihad Al-Islamiyah pimpinan KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi. PUI kemudian mendirikan
banyak sekolah serta pondok pesantren di
Jawa Barat.
4.
Muhammadiyah (1912 M)
Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad
Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18
November 1912
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal
berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan
amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi
pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang
kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan
mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh
Kyai Dahlan setelah berguru kepada
ulama-ulama Indonesia yang bermukim di
Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai
Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga
setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah,
Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi
selama bermukim di Saudi Arabia dan
bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih
ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan.
Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, KH. Ahmad
Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah
organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil
interaksi Kyai Dahlan dengan
kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan
Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan
R. Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai
Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut
secara ekstrakulikuler, yang sering
datang ke rumah Kyai dan
menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus
oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu
organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat.
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu
melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah KH. Ahmad Dahlan sebagai
pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Alquran
dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk
kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan
Muhammadiyah di kemudian hari.
KH. Ahmad Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam
lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat
Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui
tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah,
mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan
mengembalikan kepada sumbernya yang aseli yakni Alquran dan Sunnah Nabi yang
Shakhih, dengan membuka ijtihad.
5.
Al-Irsyad Al-Islamiyah
(1914 M)
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam’iyat
al-Islah wal Irsyad al- Islamiyyah) berdiri pada 15 Syawwal 1332 H/6 September
1914. Tanggal tersebut mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah
yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan
pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.
Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-’Alamah
Syaikh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari
Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan
perkumpulan Jami’at Khair yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari
orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905.
Al-Irsyad di masa-masa awal kelahirannya dikenal
sebagai kelompok pembaharu Islam di Indonesia, bersama Muhammadiyah dan
Persatuan Islam (Persis). Tiga tokoh utama organisasi ini: Ahmad Surkati, Ahmad
Dahlan, dan Ahmad Hassan (A. Hassan), sering disebut sebagai “Trio Pembaharu
Islam Indonesia.”
Sejak awal berdirinya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah
bertujuan memurnikan tauhid, ibadah dan amaliyah Islam. Bergerak di bidang
pendidikan dan dakwah. Untuk merealisir tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan
ratusan sekolah formal dan lembaga pendidikan non-formal yang tersebar di
seluruh Indonesia.
6.
Persatuan Islam (1923 M)
Persatuan Islam (PERSIS) adalah sebuah organisasi
Islam di Indonesia. Persis didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh
sekelompok Islam yang berminat dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan yang
dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.
Persis didirikan dengan tujuan untuk memberikan
pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan
memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam tradisional yang dianggap
sudah tidak orisinil karena bercampur dengan budaya lokal, sikap taklid buta,
sikap tidak kritis, dan tidak mau menggali Islam lebih dalam dengan membuka
Kitab-kitab Hadis yang shahih. Oleh karena itu, lewat para ulamanya seperti
Ahmad Hassan yang juga dikenal dengan Hassan Bandung atau Hassan Bangil, Persis
mengenalkan Islam yang hanya bersumber dari Alquran dan Hadis (sabda Nabi).
Persis bukan organisasi keagamaan yang berorientasi
politik namun lebih fokus terhadap Pendidikan Islam dan Dakwah dan berusaha
menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat,
syirik, dan bid’ah yang telah banyak menyebar di kalangan awwam orang Islam.
7.
Nahdlatul Ulama (1926 M)
Nahdlatul Ulama (NU), merupakan sebuah organisasi
Islam terbesar di Indonesia dan dunia. Organisasi ini berdiri pada 16 Rajab
1344 H/31 Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial,
dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan
tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal
Jamaah.
NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain
baik yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan yang lahir di masa penjajah,
pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap penjajah. Hal ini didasarkan,
berdirinya NU dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus
merupakan kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan
organisasi dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam umumnya.
Kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan
membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah
Air) pada tahun 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal
juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan
sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah
Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka
Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Dalam sejarahnya, NU tampil sebagai organisasi Islam
yang moderat di Indonesia dan mampu menerima tradisi-tradisi lokal serta
beradaptasi terhadap perubahan jaman. Di NU dikenal luas maqolah “Al Muhafadhah ‘alal qadimi al shalih wa al
akhdu bi al jadid al ashlah” atau “Memelihara hal lama yang masih baik dan
mengambil hal baru yang lebih baik.”
Sikap NU terbuka atas keragaman dan perbedaan, karena
dipengaruhi budaya Nusantara. NU juga memiliki prinsip tawasut (moderat), tasamuh (toleran)
serta tawazun (proporsional) dalam
menyikapi berbagai persoalan, baik sosial, politik maupun keagamaan. Prinsip
ini mendasari dan sekaligus memagari NU sehingga tidak jatuh dalam sikap
radikal atau ekstrem (tatharruf).
Dalam menegaskan prisip dasar orgasnisai, KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian
juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah
Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU,
yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam
bidang sosial, keagamaan dan politik.
Nadhlatul Ulama (NU) menorehkan sejarah tersendiri
bagi perjuangan bangsa Indonesia. Jauh-jauh hari sebelum gaung mempertahankan
NKRI menggema, para ulama telah bergerak terlebih dahulu. Para ulama, kyai,
santri, warga nahdliyin memberikan kontribusi nyata dalam mengawal perjuangan
kemerdekaan, mempertahankan dan mengisinya dengan spirit yang tak kenal lelah
dan pamrih.
Perjuangan semakin menggelora setelah keluar fatwa
jihad yang dikumandangkan Hadharatus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan lebih
dikenal dengan Resolusi Jihad tanggal
22 Oktober 1945. Peristiwa penting yang merupakan rangkaian sejarah perjuangan
Bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Peristiwa tersebut kini diperingati
sebagai Hari Santri Nasional.
Pada tanggal 9 November 1945 Hadratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin tertinggi Laskar Hizbullah menggalang kekuatan dari seluruh penjuru Surabaya
untuk menghadapi setiap kemungkinan dengan penolakan terhadap sekutu NICA
(Netherlands-Indies Civil Administration). KH. Abbas Abdul Jamil (Buntet)
memimpin Komando Pertempuran dibantu oleh KH. Wahab Hasbullah, Bung Tomo,
Roeslan Abdul Ghani, KH. Mas Mansur dan Cak Arnomo. Bung Tomo berpidato dengan
disiarkan radio, membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya untuk
bersiap syahid fi sabililah. Peristiwa heroik pada tanggal 10 November 1945
yang diperingati sebagai hari Pahlawan tidak lepas dari rangkaian panjang
semangat resolusi jihad yang dicetuskan di markas NU, Jalan Bubutan VI No. 2
Surabaya.
Kiranya kegigihan perjuangannya, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dikukuhkan sebagai
Pahlawan Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno dalam Keppres nomor
249 tahun 1945.
8.
Majelis Islam A’la
Indonesia (1937 M)
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) merupakan wadah
bagi ormas-ormas Islam di Indonesia pada zaman sebelum kemerdekaan. MIAI
didirikan pada Selasa Wage, 15 Rajab 1356 atau 21 September 1937 atas prakarsa
KH. Hasyim Asy’ari. Diantara organisasi Islam anggota MIAI adalah Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama (NU), Al Irsyad, Partai Arab Indonesia (PAI), Partai Sarekat
Islam Indonesia (PSII), Al Khoiriyah,
Persyarikatan Ulama Indonesia (PUI), Al-Hidayatul Islamiyah, Persatuan Islam
(Persis), Partai Islam Indonesia (PII), Jong Islamiaten Bond, Al- Ittihadiyatul
Islamiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).
Pada awalnya MIAI hanya menjadi koordinator (mediator)
untuk berbagai kegiatan, kemudian dikembangkan sebagai wadah untuk
mempersatukan para umat Islam tanah air untuk menghadapi politik Belanda yang
memecah belah para ulama dan partai Islam. Pada periode 1939-1945 para ulama
bergabung bersama dalam satu majelis.
Pada tahun 1943 MIAI dibubarkan, karena penjajah yang
berkuasa pada saat itu menganggap MIAI sudah tidak relevan dengan kebijakan
penjajah. Oleh sebab itu dibuat kebijakan baru yang bisa mengakomodasi
kebijakan penjajah terhadap umat Islam. Untuk merealisasikannya, maka diganti
dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi baru yang
menjadi salah satu tempat aspirasi umat Islam.
Sumber: Kementrian Agama Republik Indonesia.
2019. Buku Siswa : Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar