Kamis, 30 Januari 2025

ORGANISASI-ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA

 

Organisasi Islam di Indonesia adalah organisasi Islam di Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Keberadaaan organisasi- organisasi Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranannya pada zaman perjuangan kemerdekaan. Peranan para ulama Islam yang tergabung dalam berbagai organisasi akan perjuangan mencapai kemerdekaan sangat besar dan tidak bisa diabaikan.

Berikut ini adalah organisasi-organisasi Islam yang dibentuk pada masa sebelum kemerdekaan:

1.      Jam’iyatul Khair (1905 M)

Didirikan pada 17 Juli 1905 di Jakarta, organisasi ini awalnya beraktivitas di bidang pendidikan dasar dan mengirim para pelajar ke Turki dan merupakan satu- satunya organisasi pendidikan modern di Indonesia. Guru-gurunya didatangkan dari Tunisia, Sudan, Maroko, Mesir dan Arab. Korespondensi mereka dengan tokoh-tokoh pergerakan dan juga surat kabar di luar negeri turut menyebarkan kabar mengenai kekejaman pemerintah Belanda. Guru yang terkenal dari sini adalah Syaikh Ahmad Surkati dari Sudan, yang menekankan bahwa tidak ada perbedaan di antara sesama umat muslim yang berkedudukan sama. Para tokoh ulama Indonesia kebanyakan lahir dari organisasi ini seperti KH. Ahmad Dahlan, H.O.S. Tjokroaminoto, H. Samanhudi, dan H. Agus Salim.

2.      Syarekat Islam (1905 M)

Syarikat Islam Indonesia (SI-Indonesia) adalah organisasi massa tertua yang berdiri sejak era kolonialisme, didirikan Oleh Haji Samanhudi pada tanggal 16 Oktober 1905, awal berdirinya SI-Indonesia benama Sarekat Dagang Islam (SDA), organisasi yang didirikan sebagai wadah perkumpulan dan pergerakan bagi para pedagang muslim pribumi guna menandingi monopoli pedagang Tionghoa masa itu, sikap imprialisme pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap pedagang pribumi memembuat Haji Samanhudi yang juga berprofesi sebagai seorang saudagar bergerak dengan cepat menyebarkan berita berdirnya SDA, salah satunya melalui buletin Taman Pewarta (1902-1915).

Konggres Sarekat Islam yang Pertama di Surabaya pada tanggal 10 November 1912. Namun setahun sebelumnya Sarekat Dagang Islam SDI berganti nama menjadi Sarekat Islam, Pergantian nama juga merubah ruang pergerakan Sarekat Islam dalam arti luas, mencakup berbagai aspek Sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan Keagamaan. Pergantian nama di tubuh Sarekat Islam di bahas dalam Kongres Sarekat Islam yang Pertama di Surabaya pada tanggal 20 Januari 1913

3.      Persatuan Umat Islam (1911 M)

Persatuan Umat Islam (PUI) didirikan oleh KH. Abdul Halim,  yang merupakan seorang ulama pengasuh di Pondok Pesantren Majalengka, Jawa Barat pada tahun 1911. PUI adalah gabungan dari dua organisasi Islam yang ada di Jawa Barat yaitu Persyarikatan Umat Islam dan organisasi Al-Ittihad Al-Islamiyah pimpinan KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi. PUI kemudian mendirikan banyak  sekolah serta pondok pesantren di Jawa Barat.

4.      Muhammadiyah (1912 M)

Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912

Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang  bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.

Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, KH. Ahmad Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.

Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering  datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat.

Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah KH. Ahmad Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Alquran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari.

KH. Ahmad Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang aseli yakni Alquran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.

5.      Al-Irsyad Al-Islamiyah (1914 M)

Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam’iyat al-Islah wal Irsyad al- Islamiyyah) berdiri pada 15 Syawwal 1332 H/6 September 1914. Tanggal tersebut mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.

Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-’Alamah Syaikh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami’at Khair yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905.

Al-Irsyad di masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam di Indonesia, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tiga tokoh utama organisasi ini: Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan Ahmad Hassan (A. Hassan), sering disebut sebagai “Trio Pembaharu Islam Indonesia.”

Sejak awal berdirinya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah bertujuan memurnikan tauhid, ibadah dan amaliyah Islam. Bergerak di bidang pendidikan dan dakwah. Untuk merealisir tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan ratusan sekolah formal dan lembaga pendidikan non-formal yang tersebar di seluruh Indonesia.

6.      Persatuan Islam (1923 M)

Persatuan Islam (PERSIS) adalah sebuah organisasi Islam di Indonesia. Persis didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang berminat dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.

Persis didirikan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan budaya lokal, sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mau menggali Islam lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadis yang shahih. Oleh karena itu, lewat para ulamanya seperti Ahmad Hassan yang juga dikenal dengan Hassan Bandung atau Hassan Bangil, Persis mengenalkan Islam yang hanya bersumber dari Alquran dan Hadis (sabda Nabi).

Persis bukan organisasi keagamaan yang berorientasi politik namun lebih fokus terhadap Pendidikan Islam dan Dakwah dan berusaha menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik, dan bid’ah yang telah banyak menyebar di kalangan awwam orang Islam.

7.      Nahdlatul Ulama (1926 M)

Nahdlatul Ulama (NU), merupakan sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dunia. Organisasi ini berdiri pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah.

NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan yang lahir di masa penjajah, pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap penjajah. Hal ini didasarkan, berdirinya NU dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam umumnya.

Kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Dalam sejarahnya, NU tampil sebagai organisasi Islam yang moderat di Indonesia dan mampu menerima tradisi-tradisi lokal serta beradaptasi terhadap perubahan jaman. Di NU dikenal luas maqolah “Al Muhafadhah ‘alal qadimi al shalih wa al akhdu bi al jadid al ashlah” atau “Memelihara hal lama yang masih baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.”

Sikap NU terbuka atas keragaman dan perbedaan, karena dipengaruhi budaya Nusantara. NU juga memiliki prinsip tawasut (moderat), tasamuh (toleran) serta tawazun (proporsional) dalam menyikapi berbagai persoalan, baik sosial, politik maupun keagamaan. Prinsip ini mendasari dan sekaligus memagari NU sehingga tidak jatuh dalam sikap radikal atau ekstrem (tatharruf).

Dalam menegaskan prisip dasar orgasnisai, KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Nadhlatul Ulama (NU) menorehkan sejarah tersendiri bagi perjuangan bangsa Indonesia. Jauh-jauh hari sebelum gaung mempertahankan NKRI menggema, para ulama telah bergerak terlebih dahulu. Para ulama, kyai, santri, warga nahdliyin memberikan kontribusi nyata dalam mengawal perjuangan kemerdekaan, mempertahankan dan mengisinya dengan spirit yang tak kenal lelah dan pamrih.

Perjuangan semakin menggelora setelah keluar fatwa jihad yang dikumandangkan Hadharatus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan lebih dikenal dengan Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945. Peristiwa penting yang merupakan rangkaian sejarah perjuangan Bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Peristiwa tersebut kini diperingati sebagai Hari Santri Nasional.

Pada tanggal 9 November 1945 Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari  sebagai pemimpin  tertinggi Laskar Hizbullah menggalang kekuatan dari seluruh penjuru Surabaya untuk menghadapi setiap kemungkinan dengan penolakan terhadap sekutu NICA (Netherlands-Indies Civil Administration). KH. Abbas Abdul Jamil (Buntet) memimpin Komando Pertempuran dibantu oleh KH. Wahab Hasbullah, Bung Tomo, Roeslan Abdul Ghani, KH. Mas Mansur dan Cak Arnomo. Bung Tomo berpidato dengan disiarkan radio, membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya untuk bersiap syahid fi sabililah. Peristiwa heroik pada tanggal 10 November 1945 yang diperingati sebagai hari Pahlawan tidak lepas dari rangkaian panjang semangat resolusi jihad yang dicetuskan di markas NU, Jalan Bubutan VI No. 2 Surabaya.

Kiranya kegigihan perjuangannya, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno dalam Keppres nomor 249 tahun 1945.

8.      Majelis Islam A’la Indonesia (1937 M)

Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) merupakan wadah bagi ormas-ormas Islam di Indonesia pada zaman sebelum kemerdekaan. MIAI didirikan pada Selasa Wage, 15 Rajab 1356 atau 21 September 1937 atas prakarsa KH. Hasyim Asy’ari. Diantara organisasi Islam anggota MIAI adalah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Al Irsyad, Partai Arab Indonesia (PAI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Al Khoiriyah, Persyarikatan Ulama Indonesia (PUI), Al-Hidayatul Islamiyah, Persatuan Islam (Persis), Partai Islam Indonesia (PII), Jong Islamiaten Bond, Al- Ittihadiyatul Islamiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).

Pada awalnya MIAI hanya menjadi koordinator (mediator) untuk berbagai kegiatan, kemudian dikembangkan sebagai wadah untuk mempersatukan para umat Islam tanah air untuk menghadapi politik Belanda yang memecah belah para ulama dan partai Islam. Pada periode 1939-1945 para ulama bergabung bersama dalam satu majelis.

Pada tahun 1943 MIAI dibubarkan, karena penjajah yang berkuasa pada saat itu menganggap MIAI sudah tidak relevan dengan kebijakan penjajah. Oleh sebab itu dibuat kebijakan baru yang bisa mengakomodasi kebijakan penjajah terhadap umat Islam. Untuk merealisasikannya, maka diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi baru yang menjadi salah satu tempat aspirasi umat Islam.

 

Sumber: Kementrian Agama Republik Indonesia. 2019. Buku Siswa : Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI. Jakarta.

GERAKAN PEMBARUAN ISLAM DI INDONESIA

 

Menurut Nurcholish Madjid modernisasi adalah pengertian yang identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal ini berarti proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak aqliyah (rasional), dan menggantikannya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang aqliyah. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Jadi sesuatu dapat disebut modern kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam

Di awal abad XX pemikiran pembaruan sudah mewarnai arus pemikiran gerakan Islam di Indonesia. Namun melihat dari perkembangan pembaruan di Indonesia, pembaruan di Indonesia tidak banyak dipengaruhi oleh pembaruan dari luar negeri. Hal tersebut diasumsikan bahwa pergerakan pembaruan yang terjadi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran nasionalisme kebangsaan. Pembaruan dalam Islam juga diwujudkan dalam bentuk pendidikan. Pembaruan dalam pendidikan didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif untuk menumbuhkan gagasan-gagasan baru.

Pembaruan di Indonesia dipelopori oleh tokoh-tokoh organisasi keagamaan dan sosial, diantaranya KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (Nahdlatul Ulama) H. Ahmad Surkati (Al-Irshad), Zamzam (Persis). Para ulama tersebut banyak belajar ilmu agama di Indonesia dan menimba ilmu di Makkah. Di antara tokoh lainnya adalah HOS Tjokroaminoto (Syarekat Islam) yang dikenal menggali inspirasi dari ide-ide pembaruan Islam dari anak benua India.

Ada beberapa jalur masuk nya ide-ide pembaruan dari luar ke Indonesia, di antaranya adalah:

1.      Jalur haji dan mukim,

yakni tradisi tokoh-tokoh umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ketika itu bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan memperdalam ilmu keagamaan atau pengetahuan lainnya. Sehingga ketika mereka kembali ke tanah air, kualitas keilmuan dan pengamalan keagamaan mereka umumnya semakin meningkat. Ide-ide baru yang mereka peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi orientasi pemikiran dan dakwah mereka di tanah air. Kepulangan para ulama yang sudah pernah menimba ilmu di Makkah sangat kuat pengaruhnya di kalangan masyarakat Indonesia. Sehingga gerakan-gerakan pembaruan Islam yang dibawa oleh para ulama yang pulang dari Makkah berkembang dengan pesat.

2.      Jalur publikasi,

yakni berupa jurnal atau majalah-majalah yang memuat ide-ide pembaruan Islam baik dari terbitan Mesir maupun Beirut. Wacana yang disuarakan media tersebut kemudian menarik muslim nusantara untuk menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia bahkan lokal, seperti pernah muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas Melayu di Singapura, di Sumatera Barat juga terbit al-Munir.

3.      Peran mahasiswa yang sempat menimba ilmu di Timur Tengah.

Para pemimpin gerakan pembaruan Islam awal di Indonesia hampir merata adalah alumni pendidikan Timur Tengah. Peran besar mahasiswa-mahasiswa alumni Timur Tengah sampai sekarang masih berjalan. Bisa dikatakan bahwa alumni-alumni dari Timur Tengah masih mendapatkan tempat khusus di kalangan masyarakat, khususnya kalangan akademik.

Secara umum munculnya pembaruan Islam di Indonesia merupakan wujud respon terhadap kondisi bangsa Indonesia yang sedang mengalami invasi politik, kultural dan intelektual dari dunia Barat. Dalam situasi dan kondisi seperti itu muncul kesadaran nasional sebagai anak bangsa yang terjajah oleh penguasa asing dan tampaknya memicu kebersamaan untuk menempatkan prioritas nasional sebagai ujud kepeduliannya

Dengan demikian berkembangnya gerakan pembaruan Islam di Indonesia di tengah-tengah masyarakat, secara umum pada awal abad XX tersebut, corak gerakan keagamaan Islam di Indonesia dapat dibagi dengan beberapa kelompok sebagai berikut:

1.      Tradisionalis-konservatis,

yakni mereka yang menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan tradisi-tradisi yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari kalangan ulama, tarekat dan penduduk pedesaan;

2.      Reformis-modernis,

yakni mereka menegaskan relevansi Islam untuk semua lapangan kehidupan baik privat maupun publik. Islam dipandang memiliki karakter fleksibilitas dalam berinteraksi dengan perkembangan zaman;

3.      Radikal-puritan,

seraya sepakat dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan memakai kecenderungan kaum modernis dalam  memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka lebih percaya pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis. Sebagai pengayaan, menarik jika tipologi ini dikomparasikan dengan kasus gerakan Islam yang berkembang di Turki.

 

Sumber: Kementrian Agama Republik Indonesia. 2019. Buku Siswa : Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI. Jakarta.

PENGARUH GERAKAN PEMBARUAN ISLAM DI INDONESIA

 

Gerakan pembaruan Islam telah berjalan melalui sejarah yang panjang. Perkembangan pembaruan Islam paling sedikit telah melewati beberapa tahapan yang berbeda. Gerakan tersebut juga menyajikan model yang berbeda. Terdapat proses perpaduan yang berkesinambungan dalam berkembangnya proses pembaruan.

Gerakan pembaruan Islam di Indonesia mulai bergeliar di awal abad ke-20 M. Pengaruh gerakan Islam yang sudah berangsung di timur tengah secara perlahan memberikan pengaruhnya di Indonesia. Gagasan Pan-Islamisme yang dicetuskan oleh Sayyid Jamaluddin Al-Afghani dipahami baik oleh tokoh-tokoh gerakan pembaruan di Indonesia. Islam merupakan agama yang pertama menyeru pada perubahan, atas apa dan bagaimana perlunya perubahan secara hanif untuk menuju pada kebenaran yang hakiki, dengan mengakui adanya perubahan menuju modernisasi.

Berbagai upaya pembaruan ditempuh oleh para ulama-ulama Indonesia. Munculnya organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Bangsa Indonesia mulai menyusun stratergi untuk bangkit melawan penjajah. Umat Islam harus berperan aktif dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia.


Sumber: Kementrian Agama Republik Indonesia. 2019. Buku Siswa : Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI. Jakarta.

Rabu, 29 Januari 2025

PEMIKIRAN TOKOH-TOKOH PEMBARUAN DALAM ISLAM

 

1.          Muhammad Ali Pasha (1765-1849 M)

Muhammad Ali Pasha melakukan pembenahan ekonomi dan militer di Mesir. Atas saran para penasihatnya, ia juga melakukan program pengiriman tentara untuk belajar di Eropa. Pemerintahan Muhammad Ali Pasha menandai permulaan diferensiasi yang sebenarnya antara struktur politik dan ke agamaan di Mesir. Muhammad Ali berkuasa penuh. Ia telah menjadi wakil Sultan dengan resmi di Mesir dan rakyat sendiri tidak mempunyai organisasi dan kekuatan untuk menentang kekuasannya.

Muhammad Ali Pasha mendapatkan kepercayaan sebagai pemimpin militer pada era Daulah Usmani dan menjadi seorang pemimpin tersohor kebanggaan negara Mesir, terutama dalam merevolusi negara tersebut menjadi sebuah negara industri dan modern. Bahkan, orang Mesir sendiri mengenalnya sebagai seorang pahlawan.

Walaupun tidak dilahirkan di Mesir dan tidak berbahasa Arab, namun keinginannya untuk membangun dan meningkatkan sumber penghasilan ekonomi bagi negara Mesir sangat besar. Inisiatif, visi dan semangat yang dimilikinya tak mampu ditandingi pahlawan-pahlawan lain yang sezaman dengannya.

Muhammad Ali Pasha adalah pendiri dinasti Mesir yang keturunannya memerintah Mesir sampai tahun 1952. Kemunculannya di Mesir tahun 1799 sebagai salah seorang diantara 300 orang anggota pasukan yang dikirim Albania atas perintah Sultan Usmani untuk mengusir Perancis. Pada awalnya ia berkedudukan sebagai penasehat komandan pasukan Albania, karena kecakapannya dalam memimpin maka ia diangkat menjadi komandan penuh.

Setelah berhasil mengusir Napoleon dari Mesir, ia diangkat menjadi jendral tahun 1801. Pada bulan Nopember 1805 ia menjadi penguasa di Mesir dan bulan  April 1806 ia diangkat menjadi Wali Negara Mesir dengan gelar Pasha. Beberapa pembaruan yang dilakukan Muhammad Ali Pasha:

a.     Dalam Bidang Militer

Setelah Perancis dapat diusir Inggris pada tahun 1802 M, Muhammad Ali Pasha mengundang Save, seorang perwira tinggi Perancis untuk melatih tentara Mesir.

Pada tahun 1815 M untuk pertama kalinya Mesir mendirikan Sekolah Militer yang sebagian besar instrukturnya didatangkan dari Eropa. Tidak hanya itu, namun ia juga banyak mengimpor persenjataan buatan Eropa seperti buatan Jerman atau Inggris. Terinspirasi oleh pelatihan militer bangsa Eropa, Muhammad Ali Pasha kemudian melatih militernya berdasarkan Nidzam al-Jadid atau bisa disebut dengan peraturan baru. Tentara Mesir diatur dengan disiplin dan mulai memperkuatkannya dengan menjadikan para petani luar daerah untuk mengikuti wajib militer. Upaya itu ternyata cukup berhasil untuk menjadikan kekuatan militer Mesir semakin berkembang.

b.    Bidang Ekonomi dan Sosial

Muhammad Ali Pasha sangat memahami bahwa di belakang kekuatan militer mesti harus ada kekuatan ekonomi yang sanggup membiayai pembaruan di bidang militer dan bidang-bidang yang bersangkutan dengan militer. Jadi dua hal yang penting baginya, kemajuan ekonomi dan kekuatan militer, dan dua hal ini menghendaki pengetahuan atau ilmu-ilmu modern.

Untuk meningkatkan perkembangan ekonomi Muhammad Ali Pasha juga membangun sistem irigasi, sehingga hasil pertanian menjadi lebih baik. Mesir adalah negara yang tergantung dari pertanian oleh karena itu di samping memperbaiki irigasi lama, ia juga mengandalkan irigasi baru, memasukkan penanaman kapas dari India dan Sudan.

Usaha Muhammad Ali Pasha yang hebat adalah menyelesaikan pembangunan sebuah terusan kuno yang menghubungkan antara Alexandria dengan sungai Nil. Menurut beberapa sumber, upaya tersebut diawali dengan penggalian yang mengerahkan kurang lebih 100.000 petani Mesir. Dari hal tersebut meningkat pulalah pusat irigasi dari tahun 1813-1830 M hingga 18%.

c.     Dalam Bidang Pendidikan

Muhammad Ali Pasha menaruh perhatian besar pada perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti dengan dibentuknya kementerian pendidikan. Setelah itu didirikan Sekolah Militer tahun 1815 M, Sekolah Teknik tahun 1816 M, Sekolah Kedokteran tahun 1827 M, Sekolah Pertanian dan Apoteker tahun 1829 M, Sekolah Pertambangan tahun 1834 M dan Sekolah Penerjemah tahun 1839 M. Selain itu, ia juga banyak mengirim pelajar ke Perancis untuk belajar pengetahuan berupa sains dan teknologi Barat di Perancis.

Menurut catatan sejarah ia mengirim 311 pelajar Mesir ke Italia, Perancis, Inggris dan Austria dengan mengambil disiplin keilmuan yang beragam seperti kemiliteran, ilmu administrasi, arsitek, kedokteran dan obat-obatan. Selain mendirikan beberapa sekolah dan mengirim pelajar ke luar Muhammad Ali Pasha juga melakukan penerjemahan buku-buku terbitan Eropa dalam skala yang besar. Dalam program penerjemahan tersebut Muhammad Ali Pasha menunjuk Rifa`ah At-Tahtawi. Dalam masa kepemimpinan Rifa’ah, sekolah penterjemah berkembang lebih baik dengan menggencarkan penterjemahan buku-buku Barat, seperti buku filsafat, ilmu militer, ilmu fisika, ilmu bumi, logika, antropologi, ilmu politik dan lain sebagainya.

Muhammad Ali Pasha menerbitkan majalah al-Waqa'i al-Mishriyah (Berita Mesir) berbahasa Arab pertama kalinya pada tahun 1828 M. Majalah ini merupakan majalah resmi yang diterbitkan oleh pemerintah.


2.          Jamaluddin Al-Afghani

Kembalinya Jamaluddin Al-Afghani ke India untuk kedua kalinya setelah pergi meninggalkan Mesir karena ketidak senangan Inggris yang telah menghasut kaum teolog untuk melawan Jamaluddin Al-Afghani atas kegiatan-kegiatannya yang menyebabkan banyaknya orang Kristen yang masuk Islam. Di sini, Al-Afghani menuliskan risalah yang sangat terkenal, Risalah fi Ar-Radd al-Masihiyah (Pembuktian Kesalahan Kaum Materialis), risalah ini menimbulkan gejolak besar kalangan materialis.

Jamaluddin al-Afghani pernah menerbitkan jurnal Al-Urwah Al-Wutsqa yang mengecam keras Barat. Jurnal tersebut juga dikenal sebagai jurnal anti penjajahan, yang diterbitkan di Paris. Jurnal ini segera menjadi barometer perlawanan imperialisme dunia Islam yang merekam komentar, opini, dan analisis bukan saja dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan barat yang penasaran dan kagum dengan kecemerlangan Al-Afghani.

Pada tahun 1889, Al-Afghani diundang ke Persia untuk suatu urusan persengketaan politik antara Persia dengan Rusia. Bersamaan dengan itu al-Afghani melihat ketidakberesan politik dalam negeri Persia sendiri. Karenanya, Jamaluddin Al-Afghani menganjurkan perombakan sistem politik yang masih otokratis. Kontribusi al-Afghani yang lain adalah perlawanan terhadap kolonial barat yang menjajah negeri-negeri Islam.

Dalam rangka usaha membangkitkan semangat umat Islam serta pengembalian keutuhan umat Islam, Al-Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam berupa gerakan Pan-Islamisme. Pan-Islamisme menghendaki persatuan umat Islam sebagai kekuatan bersama untuk membebaskan dirinya dari penjajahan dan membangun kekuatan bersama.

Al-Afghani adalah sosok yang mengabdikan dirinya untuk mengingatkan dan membangkitkan dunia Islam, yang menurutnya harus meninggalkan perselisihan dan berjuang bersama. Beliau juga membangkitkan semangat nasionalisme di negara- negara yang pernah di kunjunginya, sehingga Al-Afghani mendapat julukan sebagai bapak Nasionalisme Islam.

Ikatan tersebut, yang didasarkan atas solidaritas akidah Islam, bertujuan membina kesetiakawanan dan pesatuan umat Islam dalam perjuangan; pertama, menentang sistem pemerintahan yang dispotik atau sewenang-wenang, dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, hal ini juga berarti menentang sistem pemerintahan Usmaniyah yang absolut. Kedua, menentang kolonialisme dan dominasi Barat.

Al-Afghani menilai penyebab kemunduran di dunia Islam, adalah tidak adanya keadilan dan syura (dewan) serta tidak setianya pemerintah pada konstitusi dikarenakan pemerintahan yang sewenang-wenang, inilah alasan mengapa pemikir di negara-negara Islam di timur tidak bisa mencerahkan masyarakat tentang intisari dan kebaikan dari pemerintahan republik.

Bagi Al-Afghani, pemerintah rakyat adalah “pemerintahan yang terbatas”, pemerintahan yang yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan karenanya merupakan lawan dari pemerintahan absolut. Merupakan suatu pemerintah yang berkonsultasi dalam mengatur, membebaskan dari beban yang diletakkan pemerintahan despotik dan mengangkat dari keadaan membusuk ke tingkat kesempurnaan.

Dalam buku Prof. Ahmad Amin dari Kairo yang berjudul Zuma al-Islah, para penulisnya sepakat bahwa Al-Afghani memiliki dua tujuan yang jelas dan pokok yang menggarisbawahi misinya yang besar :

a.     Mengisi semangat baru di Timur sehingga ia menghidupkan kembali kebudayaan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kebersihan agamanya yang kaya, sehingga membebaskan kepercayaannya dari dunia mistik, dan menjernihkan moralnya dari apa yang telah terkumpul di sekitar mereka dan kemudian kembali kepada kekuasaan dan landasan yang pernah mereka pegang dan miliki.

b.    Melawan dominasi asing (Imperialisme Barat) sehingga negara-negara Timur dikembalikan kepada kemerdekaannya, yang diperkuat oleh ikatan kebersamaan untuk menghalau bahaya yang datang dari bangsa Barat.

Sebagian ide dan pemikiran Al-Afghani ditorehkan dalam tulisan. Di antara karyanya adalah Bab ma Ya’ulu Ilaihi Amr al-Muslimin, yang membahas tentang sesuatu yang melemahkan umat Islam; Makidah asy-Syarqiyah, yang menjelaskan tentang tipu muslihat para orientaslis; Risalah fi Ar-Radd al-Masihiyah, yang berisi tentang risalah untuk menjawab orang Kristen. Diya’ al-Khafiqain yaitu hilanya Timur dan Barat, dan beberapa karya lainnya.

3.          Muhammad Abduh

Ide-ide Pembaruan Muhammad Abduh;

a.     Faktor Utama Kemunduran Umat Islam adalah Jumud

Muhammad Abduh berpandangan bahwa penyakit yang melanda negara- negara Islam adalah adanya kerancuan pemikiran agama di kalangan umat Islam sebagai konsekuensi datangnya peradaban Barat dan adanya tuntutan dunia Islam modern. Sebab yang membawa kemunduran umat Islam adalah bukan karena ajaran Islam itu sendiri, melainkan adanya sikap jumud di tubuh umat Islam. Menurut Muhammad Abduh Al-Islamu mahjubun bil muslimin. Jumud yaitu keadaan membeku/statis, sehingga umat tidak mau menerima perubahan, yang dengannya membawa bibit kepada kemunduran umat saat ini (al-Jumud ‘illatun tazawwul).

Seperti dikemukakan Muhammad Abduh dalam al-Islam baina al-’Ilm wa al-Madaniyyah, dijelaskan bahwa sikap jumud dibawa ke tubuh Islam oleh orang- orang yang bukan Arab, yang merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Mereka juga membawa faham animisme, tidak mementingkan pemakaian akal, jahil dan tidak kenal ilmu pengetahuan. Rakyat harus dibutakan dalam hal ilmu pengetahuan agar tetap bodoh.

b.    Bidang Masalah Ijtihad

Muhammad Abduh banyak menonjolkan pemikiran Ibn Taimiyyah tentang Ibadah dan Muamalah. Bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam Qur’an dan hadis bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya, ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan umat hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip umum tidak terperinci, serta sedikit jumlahnya. Oleh karena sifatnya yang umum tanpa perincian, maka ajaran tersebut dapat disesuaikan dengan zaman.

Penyesuaian dasar-dasar itu dengan situasi modern dilakukan dengan mengadakan interpretasi baru. Untuk itu, Ijtihad perlu dibuka. Dalam kitab Tarikh Hashri al-Ijtihad dikutip pendapat ‘Abduh mengenai ijtihad sebagai berikut: “Sesungguhnya kehidupan sosial manusia selalu mengalami perubahan, selalu terdapat hal-hal baru yang belum pernah ada pada zaman sebelumnya. Ijtihad adalah jalan yang telah ada dalam syariat Islam sebagai sarana untuk menghubungkan hal-hal baru dalam kehidupan manusia dengan ilmu-ilmu Islam, meskipun ilmu-ilmu Islam telah dibahas seluruhnya oleh para ulama terdahulu.”

Selanjutnya, menurut Muhammad Abduh, untuk orang yang telah memenuhi syarat ijtihad di bidang muamalah dan hukum kemasyarakatan bisa didasarkan langsung pada Alquran dan Hadis dan disesuaikan dengan zaman. Sedangkan ibadah tidak menghendaki perubahan menurut zaman.

Pendapat tentang dibukanya pintu ijtihad bukan semata-mata pada hati tetapi pada akal. Al-Qur'an memberikan kedudukan yang tinggi bagi akal. Islam, menurutnya adalah agama rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dasar Islam. Iman seseorang takkan sempurna tanpa akal. Agama dan akal yang pertama kali mengikat tali persaudaraan

c.     Bidang Ilmu Pengetahuan Islam (Pendidikan)

Seperti dikutip Fazlur Rahman, Muhammad Abduh menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern banyak berdasar pada hukum alam (sunnatullah, yang tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya). Sunnatullah adalah ciptaan Allah SWT. Wahyu juga berasal dari Allah. Jadi, karena keduanya datang dari Allah, tidak dapat bertentangan satu dengan yang lainnya. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dan, yang modern mesti sesuai dengan Islam, sebagaimana zaman keemasan Islam yang melindungi ilmu pengetahuan.

Dengan penuh semangat, Muhammad Abduh menyuarakan penggalian sains dan penanaman semangat ilmiah Barat. Kemajuan Eropa karena belahan dunia ini telah mengambil yang terbaik dari ajaran Islam. Islam pasti mampu beradaptasi dengan dunia modern. Muhammad Abduh ingin membuktikan bahwa Islam adalah agama rasional yang dapat menjadi basis kehidupan modern.

Sebagai konsekuensi dari pendapatnya, Muhammad Abduh berupaya untuk memperbarui pendidikan dan pelajaran modern, yang dimaksudkan agar para ulama kelak tahu kebudayaan modern dan mampu menyelesaikan persoalan modern. Pendidikan adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia dan dapat merubah segala sesuatu.

Muhammad Abduh memperjuangkan sistem pendidikan fungsional yang bukan impor, yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki dan perempuan. Semuanya harus punya kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Semuanya harus mendapat pendidikan agama, yang mengabaikan perbedaan sektarian dan menyoroti perbedaan antara Kristen dan Islam. Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi.

Muhammad Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus mendapat pendidikan minimum, agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka. Kurikulum sekolah ini harus meliputi: (1) buku ikhtisar doktrin Islam yang berdasarkan ajaran Sunni dan tidak menyebut-nyebut perbedaan sektarian; (2) teks ringkas yang memaparkan secara garis besar fondasi kehidupan etika dan moral dan menunjukkan mana yang benar dan yang salah; dan (3) teks ringkas sejarah hidup Nabi Muhammad Saw, kehidupan shahabat, dan sebab-sebab kejayaan Islam.

Sedangkan untuk sekolah menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari syariat, militer, kedokteran, atau ingin bekerja ada pemerintah. Kurikulumnya haruslah meliputi, antara lain: (1) buku yang memberikan pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran; (2) teks tentang doktrin, yang menyampaikan soal-soal seperti dalil rasional, menentukan posisi tengah dalam upaya menghindarkan konflik, pembahasan lebih irnci mengenai perbedaan antara Kristen dan Islam, dan keefektifan doktrin Islam dalam membentuk kehidupan di dunia dan akherat; (3) teks yang menjelaskan mana yang benar dan salah, penggunaan nalar dan prinsip-prinsip doktrin; serta (4) teks sejarah yang meliputi berbagai penaklukan dan penyebaran Islam.

Adapun pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk guru dan kepala sekolah, dengan kurikulum yang lebih lengkap, mencakup: (1) tafsir al-Qur’an; (2) ilmu bahasa dan bahasa Arab; (3) ilmu hadis; (4) studi moralitas (etika); (5) prinsip- prinsip fiqh; (6) seni berbicara dan meyakinkan; dan (7) teologi dan pemahaman doktrin secara rasional.

d.    Bidang Keluarga dan Wanita

Menurut Muhammad Abduh, pondasi terpenting dari masyarakat baru adalah individu. Umat terdiri dari unit-unit keluarga. Kalau unit-unit ini tidak memberikan lingkungan yang sehat dan fungsional bagi perkembangan individu di dalamnya, maka pondasi masyarakat akan runtuh.

Menurut Muhammad Abduh, jika wanita memang punya kualitas pemimpin dan kualitas membuat keputusan, maka keunggulan pria tak berlaku lagi. Muhammad Abduh juga berpendapat bahwa, penyebab perpecahan atau fitnah dalam masyarakat adalah karena pria mengumbar hawa nafsunya.

4.          Muhammad Rasyid Ridha

Dalam pengembaraan ilmiahnya di Mesir, Muhammad Rasyid Ridha bertemu bertemu dengan Muhammad Abduh sebagai gurunya. Pergulatan ilmiah dengan Muhammad Abduh menjadikan waktu Muhammad Rasyid Ridha semakin sibuk menambah pengetahuannya tentang pembaruan Islam. Dalam suatu kesempatan, Rasyid Ridha menyampaikan keinginannya untuk menerbitkan majalah yang diberi nama Al-Manar. Tujuan Rasyid Ridha dalam menerbitkan majalah Al-Manar yaitu untuk mengadakan pembaruan melalui media cetak yang di dalamnya berisikan bidang agama, sosial, ekonomi, memberantas takhyul dan faham bidah yang masuk ke dalam kalangan umat Islam. Serta menghilangkan faham fatalisme, faham-faham salah yang dibawa oleh tharekat tasawuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara Barat.

Majalah Al-Manar terbit perdana pada tanggal 22 Syawal 1315 H/17 Maret 1898 M. Majalah ini terbit secara berkala memuat delapan halaman dalam satu edisinya. Majalah ini tidak hanya berisi artikel (ide) pemikiran Muhammad Abduh dan Muhamad Rasyid Ridha, namun juga banyak penulis-penulis lain yang terlibat dalam penulisan majalah Al-Manar.

Tidak hanya majalah Al-Manar, merasa tidak cukup dengan artikel terbatas yang diterbitkan dalam majalah Al-Manar, kemudian Muhamad Rasyid Ridha berinisiasi untuk menuliskan materi-materi kuliah Muhammad Abduh yang nantinya menjadi menjadi Tafsir Al-Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-kuliah tafsir ini sampai ia meninggal di tahun 1905 M. Setelah gurunya meninggal, Rasyid Ridha meneruskan penulisan sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh.

Pemikiran pembaruan Islam Muhammad Rasyid Ridha dapat dibagi menjadi beberapa bidang :

a.     Bidang Keagamaan

Pemikiran pembaruan Muhammad Rasyid Ridha dalam bidang keagamaan bisa dikatakan sama seperti pemikiran Muhammad Abduh, kedekatan hubungan antara Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha menciptakan dinamika yang sama. Umat Islam mengalami kemunduran karena tidak menganut ajaran- ajaran Islam yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan banyak faham-faham yang tidak sesuai masuk ke dalam tubuh Islam, seperti segala khurafat, takhayul, bidah, jumud dan taklid.

Menurut Muhammad Rasyid Ridha, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya yaitu, ajaran yang murni dan terhindar dari segala bid`ah yang merongrong ajaran tauhid. Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa Islam itu sederhana sekali, sesederhana dalam ibadah dan sederhana dalam muamalahnya. Ibadah kelihatannya berat dan ruwet karena dalam ibadah telah ditambahkan hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunnah.

Ijtihad diperlukan hanya untuk persoalan hidup kemasyarakatan. Ayat dan Hadis yang mengandung arti tegas, tidak diperlukan ijtihad. Akal dapat dipergunakan terhadap ayat dan hadis yang tidak mengandung arti tegas dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak tersebut dalam Alquran dan Hadis. Oleh karena itu, disinilah letak dinamika Islam menurut faham Muhammad Rasyid Ridha.

b.    Bidang Pendididkan dan Ilmu Pengetahuan

Muhammad Rasyid Ridha sangat antusias memandang kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban Barat yang modern. Gambaran terhadap kemajuan teknologi yang dicapai oleh bangsa Barat mendapatkan tanggapan positif dari Muhammad Rasyid Ridha.

Oleh Muhammad Rasyid Ridha ilmu-ilmu pengetahuan umum dimasukkan ke dalam lembaga pendidikan milik umat Islam. Untuk mencapat tujuannya dibentuklah lembaga pendidikan al-Dakwah Wal Irsyad pada tahun 1912 M di Cairo, Mesir. 

Muhammad Iqbal

Menurut pandangan Iqbal terdapat beberapa sebab kemunduran umat Islam :

1.    Fakta sejarah menunjukan bahwa kehancuran Baghdad, banyak mempengaruhi peradaban ummat Islam. Karena Baghdad pernah menjadi pusat politik, kebudayaan dan pusat kemajuan pemikiran Islam. Akibatnya, pemikiran ulama pada masa itu hanya bertumpu pada ketertiban sosial.

2.    Ada kecenderungan ummat Islam terjerembab pada paham fatalisme, yang menyebabkan umat Islam pasrah kepada nasib dan enggan bekerja keras. Pengaruh zuhud yang terdapat dalam ajaran tasawuf yang dipahami secara berlebihan dan salah mengakibatkan umat Islam tidak mementingkan persoalan kemasyarakatan.

3.    Awal kegagalan Islam dalam mengikuti perkembangan modern salah satunya disebabkan hilangnya semangat ijtihad. Munculnya kelompok muslim yang menganggap pintu ijtihad telah tertutup. Pemahamann ini melahirkan sikap statis (jumud) dalam pemikiran umat Islam, karena kegiatan ijtihad dianggap tertutup.

Untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam, maka Muhammad Iqbal menawarkan beberapa solusi yang harus diterapkan yaitu :

a.  Secara konsisten menerapkan konsep dinamisme Islam, umat Islam harus membangkitkan kembali tradisi keilmuan. Al-Qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal untuk melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan dan pada saat yang sama menganjurkan umat Islam senantiasa bergerak aktif menyongsong perubahan zaman.

b. Hukum Islam tidak bersifat statis, tetapi dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Menurut Muhammad Iqbal, ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan intelektual, yang berarti menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi. Di dalam ijtihad, terdapat aspek perubahan dan dengan adanya perubahan itulah, dinamika umat manusia berasal. Paham dinamisme Islam inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaruan Islam. Dalam syair-syairnya, ia mendorong umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam.

c.  Intisari hidup adalah gerak. Karenanya, Iqbal menyeru agar umat Islam bangun dan menciptakan dunia baru. Dalam kaitannya dengan barat, Iqbal memandang barat tidaklah bagus untuk dijadikan model peradaban. Kapitalisme dan materialisme barat telah membawa kerusakan bagi kemanusiaan. Karena itu boleh belajar dari barat dalam hal metodologi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan nilai-nilai kehidupan harus digali dari ajaran Islam yang benar dan budaya yang positif.

Mengenai paham Muhammad Iqbal yang mampu membangkitkan umat Islam adalah tentang Dinamisme Islam yaitu dorongannya terhadap umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Inti sari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah menciptakan, maka Iqbal menyeru kepada umat Islam agar bangun/bangkit dan menciptakan dunia baru.

Dari segi bahasa, kata dinamisme artinya tidak berhenti. Sedangkan menurut istilah dinamisme adalah suatu aktifitas yang didasarkan pada kesadaran untuk selalu berubah secara positif untuk mengikuti perkembangan zaman. Karena itu dinamisme sebagai tuntutan untuk memberdayakan ummat. Konsekuensinya apabila umat kehilangan dinamisme, maka yang terjadi adalah kemunduran yang akan berdampak pada kesengsaraan kehidupan.

 Link Vidio Pembelajaran Materi Biografi dan Pemikiran Muhammad Abduh

Sumber: Kementrian Agama Republik Indonesia. 2019. Buku Siswa : Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI. Jakarta.