A. Kebudayaan dan Kondisi Masyarakat Madinah Sebelum Islam
Madinah pada mulanya bernama Yasrib, dinamakan Yasrib karena orang pertama yang tinggal di kota ini bernama Yasrib bin Qa’id bin Ubail bin Aus bin Amaliq bin Lawudz bin Iram, salah seorang anak keturunan Sam, putra Nabi Nuh a.s. kota ini sudah terbentuk kurang lebih 1600 tahun sebelum masehi.
Kota Yasrib berjarak sekitar 300 mil sebelah utara kota Makkah, merupakan kota yang makmur dan subur dengan pertaniannya. Sebagai pusat pertanian, kota ini menjadi menarik bagi penduduk kota lain untuk berpindah kesana. Kota Yasrib dikelilingi oleh gunung berbatu, disini terdapat banyak lembah, atau yang paling terkenal dengan nama Wadi. Persawahan dan perkebunan yang subur menjadi sandaran hidup penduduk setempat. Penghasilan terbesarnya adalah anggur dan kurma, tidak mengherankan jika kurma terbaik di dunia terdapat di kota ini.
Luas kota Yasrib kala itu hanya sekitar 15 km dan sekarang sudah berkembang menjadi 293 km dengan batas-batas geografis sebagai berikut:
a) Bagian selatan berbatasan dengan bukit Ayr
b) Bagian utara berbatasan dengan bukit Uhud dan bukit Tsur
c) Bagian timur berbatasan dengan Harrah Waqim
d) Bagian barat berbatasan dengan Harrah Wabarah
Komposisi penduduk Yasrib sebelum Islam masuk, berbeda dengan kota Makkah. Meskipun bersuku-suku, dilihat dari karakteristik budaya-agama, penduduk Makkah memiliki sifat yang homogen sebagai penyembah berhala. Sedangkan wilayah Yasrib memiliki penduduk selain terdiri atas beberapa suku, juga ada suku Yahudi disana dominan memeluk agama samawi dan ada juga pemeluk Nasrani.
Dilihat dari struktur sosial dan budaya, penduduk Yasrib cenderung lebih heterogen dibanding Makkah. Mereka terdiri atas berbagai macam etnis dan kepercayaan serta memiliki adat istiadat sendiri dari masing-masing suku. Masyarakat Yasrib sebelum Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga:
1. Suku Aus dan Khazraj
Kedua suku ini awal mulanya adalah nama dari dua orang saudara kandung anak dari Harits bin Tsa’labah dari istrinya yang bernama Qilah binti al-Arqam bin Amr bin Jafnah. Pada perkembangan selanjutnya Aus dan Khazraj menjadi dua nama kabilah besar di Yasrib. Selama kurang lebih 120 tahun dua kabilah ini saling bertikai, pertikaian ini tidak lain disebabkan karna provokasi kaum Yahudi yang iri dengan kemajuan suku Aus dan Khazraj. Akibat provokasi kaum Yahudi, suku Aus dan Khazraj terlibat perang saudara yang hebat dan berkepanjangan, salah satu peperangan terkenal diantara keduanya disebut dengan perang Bu’ats.
Ketika itu suku Aus yang memiliki kekuatan besar karena beraliansi dengan Yahudi berhasil mengalahkan Khazraj. Pada musim Haji, suku Khazraj mencoba mencari dukungan suku Quraisy di Makkah. Pada kesempatan itu Rasulullah Saw mencoba menarik simpati suku Khazraj dengan mengajaknya memeluk Islam, tapi ajakan itu ditolak oleh mereka. Selanjutnya justru suku Aus menaruh simpati terhadap ajakan Rasulullah Saw dan melakukan konsolidasi dalam Baiat Aqabah pertama dan Baiat Aqabah kedua.
Akhirnya suku Aus menyadari betul bahwa kemenangnya atas suku Khazraj bukan hal yang menguntungkan, bahkan menjadi titik awal kehancurannya di tengah suku-suku Yahudi, sebab mereka membuka peluang bagi kaum Yahudi untuk menghancurkan dari belakang. Karena itu suku Aus terus berupaya melakukan rekonsiliasi dengan Khazraj. Mereka terus berupaya mewujudkan gerakan perdamaian.
Kenyataan ini telah menunjukkan bahwa suku-suku Arab di Yasrib terus berupaya memelihara kekuasaan dan eksistensinya atas orang-orang Yahudi. Pada sisi lain, perang Bu’ats telah membangkitkan mereka untuk mencari perdamaian. Keinginan untuk hidup damai inilah yang mendorong suku Aus dan Khazraj menerima kehadiran Islam. Islam dalam pandangan mereka merupakan lambang persaudaraan dan kedamaian.
2. Kaum Yahudi
Ketika kaum Yahudi berada di bawah tekanan bangsa Asyur dan Romawi, mereka cenderung berpihak kepada orang-orang Hijaz, walaupun pada dasarnya mereka adalah orang-orang Ibrani. Setelah bergabung dengan orang-orang Hijaz, gaya hidup mereka berubah menjadi gaya hidup orang Arab, berbahasa Arab, serta mengenakan pakaian yang biasa dipakai orang Arab pada umumnya, hingga nama- nama dan nama kabilah mereka disebut dengan nama-nama Arab dan pada akhirnya mereka pun menikah dengan orang Arab.
Namun meskipun demikian, mereka tetap memelihara rasa fanatisme mereka sebagai orang Yahudi dan tidak membaur dengan bangsa Arab. Bahkan mereka terus membanggakan dirinya sebagai bani Israil dan meremehkan orang-orang Arab dengan menghina dan meremehkannya. Kaum Yahudi tidak terlalu berambisi menyebarkan agama mereka, mereka menganggap bahwa mereka adalah orang-orang berilmu, memiliki kelebihan dibanding bangsa Arab.
Secara ekonomi, kaum Yahudi menguasai bagian terbesar dari kegiatan perekonomian di Yasrib. Mereka sangat terampil dalam mencari sumber penghidupan dan mata pencaharian. Kaum Yahudi menguasai perputaran bisnis biji-bijian, kurma, khamr, serta jual beli kain. Mereka mengeruk sekian kali lipat keuntungan dari bangsa Arab.
Dalam perdagangan, kaum Yahudi menerapkan sistem riba. Mereka memberikan pinjaman kepada pemuka dan pemimpin bangsa Arab. Dari uang yang mereka pinjamkan, mereka mengambil lahan serta tanah sebagai jaminan. Setelah masa pelunasan habis dan hutang belum terbayar, tanah serta lahan menjadi hak milik mereka.
Kaum Yahudi Madinah terdiri dari tiga kabilah terkenal, yaitu:
a. Bani Qainuqa, dulunya mereka adalah sekutu suku Khazraj, perkampungan mereka berada di dalam kota Madinah
b. Bani Nadzir, sama seperti Bani Qainuqa mereka adalah sekutu dari suku Khazraj yang tinggal di pinggiran kota Madinah
c. Bani Quraidzah, dulunya mereka adalah sekutu dari suku Aus dan bertempat tinggal di pinggiran kota Madinah
Tiga bani inilah yang telah menyulut api peperangan antara suku Aus dan Khazraj sejak lama dan berperan atas pecahnya perang Bua’ats karena masing-masing bergabung dengan sekutunya. Mereka juga menguasai sistem pertanian, perdagangan, pertukangan, keuangan sehingga secara ekonomi dalam struktur sosial di Yasrib telah menduduki posisi yang sangat penting dan menentukan.
3. Kaum Musyrik
Mereka adalah orang-orang musyrik yang menetap di beberapa kabilah Madinah. Mereka tidak memiliki kekuasaan atas penduduk Yasrib. Bisa dikatakan bahwa mereka adalah kaum minoritas yang hidup di Yasrib. Mereka memiliki seorang tokoh bernama Abdullah bin Ubay, sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Yasrib, tepatnya setelah perang Bu’ats usai, suku Aus dan Khazraj telah sepakat untuk menobatkan Abdullah bin Ubay menjadi pemimpin kelompok mereka.
Abdullah bin Ubay merasa tidak ada pesaing di Yasrib, maka ketika kabar datangnya Rasulullah Saw ke Yasrib sampai kepadanya dia merasa akan dirampas haknya oleh Rasulullah Saw sehingga dia menyimpan benih-benih permusuhan dalam dirinya. Sebagaimana Allah Swt. menguji kaum muslimin di Makkah dengan prilaku orang-orang kafir Quraisy, demikian juga Allah Swt. Menguji mereka di Yasrib dengan prilaku orang-orang Yahudi.
Dengan demikian di Yasrib ini, masyarakat atau umat Islam (kelak) selalu berhadapan dengan berbagai komunitas dengan pluralisme kebudayaan, baik dalam bermasyarakat maupun dalam beragama.
Yasrib yang kemudian diganti namanya menjadi ‘Madinatul Munawwarah’ setelah kedatangan Rasulullah Saw ini menjadi sangat terkenal. Kedatangan komunitas Muslim Makkah ke Madinah sangat dinantikan oleh saudara-saudaranya seiman di kota ini. Penduduk Madinah yang telah mengenal Rasulullah Saw dan menyatakan beriman sangat senang dengan kedatangan rombongan yang kemudian disebut dengan kaum Muhajirin. Kaum Muhajirin mengharapkan angin segar seperti yang tertuang adalam perjanjian Aqabah yang telah mereka sepakati.
Hijrah bagi kaum muslimin Makkah, selain memberikan harapan baru untuk pengembangan kehidupan mereka, diharapkan dapat menghasilkan kehidupan sosial yang lebih aman, tertib dan sejahtera. Hal itu secara umum sulit ditemukan di Makkah. Arti hijrah bagi kaum Muhajirin bukan pemutusan ikatan dengan tanah kelahiran dan alam lingkungannya semua. Namun yang lebih utama bagi mereka adalah kesempatan dan harapan baru untuk berubah menjadi anggota masyarakat baru yang dinamis yang memiliki hak-hak warga kenegaraan yang sama.
Begitupun sebaliknya, bagi mereka yang menerima kaum Muhajirin, yang kemudian disebut dengan Anshar (penolong), mereka merasakan adanya nuansa baru, baik secara psikologis maupun sosiologis. Kaum Anshar seolah mendapat energi baru dari sesama muslim dan etnis Arab, setelah sebelumnya selalu mendapat tekanan dari berbagai kondisi ekonomi, sosial dan keagamaan di Madinah.
Sumber: Kementrian Agama Republik Indonesia. 2019. Buku Siswa : Sejarah Kebudayaan Islam Kelas X. Jakarta.