MAKALAH
KAIDAH PENGGANTIAN ATAU PENGHAPUSAN HUKUM SYAR’I (NASKH)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen pengampu: Dra. Hj. Nurul Maziyah, M.M.
Disusun oleh:
1.
Muhammad
Roib (141310003097)
2.
Choirin
Widadiyah (141310003147)
3.
Erni
Johan (141310003068)
4.
Rohmatin Maghfiroh (141310003130)
UNIVERSITAS ISLAM NAHDHLATUL ULAMA’ ( UNISNU ) JEPARA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU
KEGURUAN
Jl. Taman Siswa (pekeng) No. 09 Tahunan Jepara.
Telp/Fax (0291)593132
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah membeikan rahmat dan hidayahNya sehingga
penulis dapat meyelesaikan makalah yang berjudul “Kaidah Penggantian atau Penghapusan Hukum Syar’i
(Naskh)” dengan baik.
Adapun maksud
penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Selain itu kami berharap semoga makalah ini bisa
bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang ushul fiqih,
khususnya tentang Kaidah Penggantian
atau Penghapusan Hukum Syar’i (Naskh).
Kami
menyadari banyak sekali kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan di
masa mendatang.
Jepara,
29
Maret 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan Makalah.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian................................................................................................... 3
B. Perdebatan
Ulama’..................................................................................... 5
C. Macam-macam
Naskh................................................................................ 7
D. Kegunaan
Konsep Naskh dan Eksistensinya ............................................ 10
BAB III PENUTUP
A. Simpulan.................................................................................................... 13
B. Saran.......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur'an oleh umat Islam, secara normatif diyakini sebagai petunjuk
untuk mengantarkan manusia kepada kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Untuk
tujuan itu, maka al-Qur'an perlu dipahami, agar petunjuk yang terdapat di
dalamnya mampu diserap untuk selanjutnya diekspresikan dalam kehidupan manusia
di dunia ini. Sementara itu, sudah dimaklumi bahwa al-Qur'an diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. dalam rentan waktu kurang lebih 23 tahun. Meski demikian,
tidak berarti terjadinya diskontinuitas pesan antara satu ayat dengan ayat
lainnya. Kandungan al-Qur'an merupakan satu-kesatuan yang utuh, tidak ada ikhtilaf
atau terdapat kontradiksi internal.
Sejalan dengan hal itu, maka para penafsir berusaha keras untuk
merekonsiliasikan makna ayat al-Qur'an yang dianggap bertentangan dengan makna
ayat yang lain. Diantara persoalan yang muncul dari adanya kesan
pertentangan/kontradiksi adalah masalah nasikh dan mansukh dalam
al-Qur'an. Persoalan ini mencuat sewaktu para penafsir merasa kesulitan untuk
merekonsiliasikan kesan pertentangan ayat tersebut, sementara diyakini bahwa
kandungan al-Qur'an merupakan satu kesatuan. Dari sinilah sebenarnya muncul
pertentengan antara penafsir tentang masalah ini, ada yang mendukung konsep naskh
ini namun ada juga yang menolaknya.
Terlepas dari itu semua penulis akan mencoba untuk menjelaskan tentang
konsep kaidah penggantian atau penghapusan hukum syar’i (naskh) dalam lingkup
bahasan pengertian, perdebatan dan argumentasi ulama’ tentang eksistensi naskh,
ragam dari naskh dan kegunaan konsep naskh dalam hukum islam dan eksistensinya
dimasa yang akan datang.
B. Rumusan Masalah
Untuk membatasi
masalah agar lebih terpusat pada pokok persoalan sesuai dengan judul diatas,
maka dalam makalah ini pemakalah menguraikan beberapa permasalahan yaitu:
1. Apa pengertian Naskh?
2. Bagaimana perdebatan dan argumentasi para
ulama mengenai eksistensi naskh?
3. Apa saja macam-macam naskh?
4. Bagaimana kegunaan konsep naskh dalam
hukum islam dan eksistensinya di masa mendatang?
C. Tujuan Makalah
Berdasarkan pada permasalahan yang diajukan di atas, maka tujuan
yang ingin
dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian Naskh.
2. Untuk mengetahui perdebatan dan
argumentasi para ulama mengenai eksistensi naskh.
3. Untuk mengetahui macam-macam naskh.
4. Untuk mengetahui kegunaan konsep naskh
dalam hukum islam dan eksistensinya di masa mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Dari segi etimologi (bahasa) banyak arti dari kata Naskh diantaranya
yaitu:
Al-izalah (menghapus), dalam
al-Qur'an surat Al-Hajj ayat 52 disebutkan
“Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan
Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Al-tabdil (menukar)
difirmankan Allah dalam surat Al-Nahl ayat 101 yang artinya
“Dan apabila kami
letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah
lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya
kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka
tiada Mengetahui.”
Selain itu, naskh juga dapat berarti al-Tahwil (mengubah),
selain itu juga dapat diartikan al-Naql yaitu memindahkan.
Pengertian lain dikemukakan dalam bingkai pemahaman ahli ushul fikih.
Dalam pandangan ulama ushul fikih bahwa naskh adalah membatalkan penerapan
hukum syar'i yang datang kemudian untuk suatu kemaslahatan bagi umat.
Dalam pengertian terminologi, kata naskh terdapat perbedaan pendapat
antara para ulama. Ulama mutaqaddimin (abad I hingga III H) memperluas
arti naskh hingga mencakup:
1) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan
kemudian
2) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus
yang datang kemudian
3) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
4) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Pengertian yang
demikan luas, oleh ulama muta'akhirin dipersempit bahwa naskh hanya
terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau
mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu,
sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah ketetapan hukum yang terakhir.[1]
Dalam memahami pengertian
naskh perspektif M. Quraish Shihab bahwa naskh ialah pergantian atau pemindahan
dari satu wadah kepada wadah lain, dalam arti bahwa kesemua ayat al-Qur'an
tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi
masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian
ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang atau
masyarakat lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.[2]
B. Perdebatan Ulama’
Ada beberapa perdebatan dan argumentasi mengenai eksistensi naskh dalam
Al-Qur’an ialah:
1. Menerima keberadaan naskh dalam Al-Qur’an
Mayoritas ulama
menerima keberadaan naskh dan mengemukakan argumentasi naqliah dan aqliah.
Firman Allah dalam
Surat Al-Baqarah ayat 106, yang artinya:
“untuk ayat apa saja
kami tunda, atau kami sebabkan(rasul) melupakannya, maka kami akan datangkan
lebih baik atau yang semisal dengannya”
Dan juga firman Allah
dalam surat Ar-Radl ayat 39
“Allah akan menghapus
atau menetapkan apa-apa yang dikehendakiNya
dan disisinyalah terdapat ummul kitab(lauh mahfudz).”
Dari ayat-ayat
tersebut mayoritas ulama memandang bahwa ‘revisi’ Al-Qur’an telah terjadi.
Gagasan lain yang mendasari mayoritas ulama akan teori naskh adalah penerapan
perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam Al-Qur’an hanya
bersifat sementara, dan bahwa seandainya keadaan telah berubah, perintah
dihapus dan diganti dengan perintah yang baru. Namun, karena perintah-perintah
itu kalam Allah, ia harus dibaca sebagai bagian dari Al-Qur’an.
Adapun dalil-dalil
yang dikemukakan adalah:
a) Naskh tidak hal yang terlarang menurut akal pikiran dan setiap yang tidak
dilarang berarti boleh.
Mu’tazilah
menambahkan bahwa hukum Allah itu wajib membawa maslahat habi hambanya. Adapun
Ahl Sunnah mengatakan bahwa tidak ada yang wajib bagi Allah sesuatupun terhadap
hambanya. Oleh karena itu, kalaupun Allah menasakh kannya tidak akan membawa
akibat kepada hukumnya. Namun, semua hukum Allah dan perbuatannya adalah himmah
balighah,ilmu yang luas dan mahasuci dari sifat jahat dan aniaya.
b) Seandainya naskh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi, syar’i tidak
boleh memerintahkan sesuatu kepada hambanya dengan perintah sementara dan
melarangnya dengan larangan sementara. Akan tetapi para penentang naskh berkata
bahwa perintah dan larangan itu dapat terjadi.
c) Seandainya naskh itu tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut
sam’iyat tidak akan ditetapkan risalah Muhammad SAW kepada seuruh alam.
Sedangkan semuanya mengakui bahwa risalah itu semua berlaku untuk seluruh alam
dengan dalil yang pasti. Syariat yang terdahulu dengan sendirinya akan kekal,
tetapi akan dinnaskhkan oleh syariat yang terakhir.
d) Naskh terjadi menurut nash. keadaan terjadi “AlWuqu’” memberikan
pengertian boleh bertambah (aj-jawaz wa ziyadah)
Mengenai kemungkinan terjadinya naskh dalam Al-Qur’an Abdul Wahab Khalaf
menuturkan bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an bisa menerima naskh, seperti
ayat-ayat yang mengandung asasi (pokok) yang tidak bisa berubah dengan
perubahan kondisi manusia. Misalnya ayat-ayat tentang akidah, pokok-pokok
ibadah, keadilan, kejujuran, dan sebagainya. Begitu pula,dengan ayat-ayat yang berisi
berita yang tidak mengandung berita atau larangan seperti berita-berita umat
terdahulu. Ayat seperti ini, secara tekstual menunjukan bahwa ketentuan hukumnya
berlaku sepanjang masa.
2. Menolak keberadaan naskh dalam Al-Qur’an
Menurut ulama yang
sependapat ini bahwa, naskh diberi pengertian bukan sebagai pembatalan, tetapi
sebagai pergantian, pengalihan dan pemindahan ayat hukum disuatu tempat kepada
ayat hukum ditempat lain. Terhadap argumentasi mayoritas ulama yang didukung
oleh surat an-nahl ayat 101, al-ashfahani membantahnya dengan mengajukan ayat
42 surat al-fushilat
“yang tidak datang
kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang
diturunkan dari rabb yang maha bijaksana lagi maha terpuji.”
Mayoritas ulama
merasa keberatan terhadap pendapat al-ashfani sebab bagi menreka, ayat tidak
berbicara tentang ‘pembatalan’ tetapi tentang ‘kebatilan’ yang berarti lawan
dari kebenaran. Hukum tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung keharusan bahwa
hukum itu batil, sebab sesuatu yang dibatalkan penggunaanya ketika terdapat
perkembangan dan kemaslahatan pada suatu wahyu, bukan berarti hukum itu menjadi
tidak benar. Quraish shihab menyimpulkan semua ayat Al-Qur’an pada dasarnya
berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif pada suatu waktu. Pada waktu yang
berlainan akan tetap berlaku bagi orang-orang yeng memiliki kesesuaian dengan
apa yang ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan.[3]
C. Macam-macam Naskh
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Naskh Sharih
yaitu ayat yang
secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat
tentang perng (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal(8) yang mengharuskan satu
orang muslim melawan sepuluh orang kafir.
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti.”(QS.Al-Anfal: 65)
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti.”(QS.Al-Anfal: 65)
Dan menurut
jumhur ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin
melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:
“ Sekarang Allah
telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka
jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu
orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.”
(QS.Al-Anfal: 66)
2. Naskh dhimmy
yaitu jika terdapat
dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun
untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat
yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah
yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam
surat Al-Baqarah (2):
“Diwajibkan atas
kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib
kerabatnya secara ma’ruf.”
Ayat ini di-naskh
oleh suatu hadist yang mempunyai arti tidak ada wasiat bagi ahli waris.
3. Naskh kully
yaitu menghapus hukum
yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ‘iddah empat bulan sepuluh hari
pada surat Al-Baqarah (2) 234 di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada
ayat 240 dalam surat yang sama.
4. Naskh juz’i
yaitu menghapus hukum
umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi
sebagian individu,atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan ukum
yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita
tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an,
bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami yang tertuduh,
pada ayat 6 dalam surat yang sama.[4]
Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash,
para ulama membagi naskh menjadi 4 macam:
1. Naskh al-Qur'an dengan al-Qur'an
Naskh al-Qur'an
dengan al-Qur'an, ini merupakan bagian yang disepakati kebolehannya dan telah
terjadi dalam pandangan mereka yang mendukung adanya naskh dalam
al-Qur'an. Misalnya ada ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari
yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240,
Artinya: "Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Ayat ini kemudian di naskh
oleh surah yang sama pada ayat 234:
Artinya
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat".
2. Naskh al-Qur'an dengan al-Sunnah
a) Naskh al-Qur'an dengan
hadis ahad.
Jumhur ulama
berpendapat bahwa al-Qur'an tidak boleh di-naskh oleh hadis ahad, sebab
al-Qur'an adalah mutawatir dan menunjukkan keyakinan, sedangkan hadis ahad
adalah bersifat zhanni atau bersifat dugaan, disamping juga tidaklah sah
menghapuskan sesuatu yang jelas diketahui dengan sesuatu yang masih bersifat
dugaan.
b) Naskh al-Qur'an dengan
hadis yang mutawatir.
Dalam pandangan imam
Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, hal semacam ini adalah dibolehkan. Alasan mereka
adalah bahwa keduanya merupakan wahyu, sedangkan dalil yang mereka gunakan
untuk mendukung pendapat ini adalah surah al-Najm ayat 4-5, selain itu juga
surah al-Nahl ayat 44, dan naskh itu sendiri menurut mereka adalah
merupakan salah satu penjelasan.
Sementara itu, Imam
Syafi'i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayat lain menyatakan penolakan terhadap naskh
al-Qur'an dengan hadis mutawatir, ini berdasarkan al-Qur'an surah al-Baqarah
ayat 106 "Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya". Sementara itu hadis adalah tidak lebih baik dari
atau sebanding dengan al-Qur'an.
3. Naskh al-sunnah dengan al-Qur'an
Menurut jumhur ulama bahwa
me-naskh al-Sunnah dengan al-Qur'an, merupakan suatu kebolehan dan ini
pernah terjadi. Sebagai contoh penetapan arah kiblat, awalnya oleh Rasul SAW.
melalui hadisnya dinyatakan bahwa kiblat umat Muslim adalah Baitul Maqdis,
kemudian turun ayat yang menaskh hal ini dengan menunjukkan bahwa arah kiblat
adalah ke arah Masjidil Haram. Firman-Nya:"Maka palingkanlah wajahmu ke
Arah Masjidil Haram". Q.S. al-Baqarah ayat: 144.
4. Naskh al-Sunnah dengan al-Sunnah
a) Naskh hadis mutawatir
dengan hadis mutawatir
b) Naskh hadis ahad dengan
hadis ahad
c) Naskh hadis ahad dengan
hadis mutawatir
d) Naskh hadis mutawatir
dengan hadis ahad.
Pada kategori tiga bentuk yang pertama, menurut jumhur diperbolehkan,
sementara pada bentuk yang keempat terjadi perbedaan seperti halnya naskh al-Qur'an
dengan hadis ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur ulama.
D. Kegunaan Konsep Naskh dan Eksistensinya
Naskh dalam penerapan hukum islam
mayoritas ulama’ berpendaat dalam bermacam-macam, diantaranya:
1. Naskh yang tidak ada gantinya, seperti
pembatalan hukum memberika sodaqoh kepada orang miskin bagi orang yang ingin
melakukan pembicaraan khusus dengan Rasulullah. Hukum ini telah dibatalkan
Allah, tetapi tidak diberikan gantinya.
2. Naskh yang ada penggantinya. Pengganti
itu adakalanya lebih ringan daripada yang dibatalkan dan adakalanya lebih berat
daripada yang dibatalkan. Penggantian hukum dengan yang lebih ringan, misalnya
kewajiban shalat 50 kali sehari diganti dengan 5 kali.
Hukum penggantinya yang lebih berat adalah dalam
cara berdakwah. Pada masa awal islam, Allah memerintahkan untuk berdakwah
secara damai, tanpa peperangan, tapi kemudian hukum ini diubah dan Allah
mengizinkan untuk melakukan jihad dengan peperangan.
3. Penghapusan
terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku, seperti hukuman rajam bagi
orang tua, laki-laki dan perempuan melakukan zina.
4.
Penghapusan terhadap hukumnya saja
sedangkan bacaanya tetap ada, seperti pembatalan hukum memberi shadaqah kepada
orang miskin apabila seseorang akan berbicara secara khusus dengan Rasulullah,
dan ayat tersebut masih utuuh dalam Al-Qur’an.
5. Penghapusan
terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Seperti sebuah riwayat dari Aisyah
yang mengatakan bahwa ketika ayat Al-Qur’an masih diturunkan, susuan yang
mngharamkan untuk saling menikahi antara orang yang menyususkan dengan orang
yang disusui itu adalah sepuluh kali susuan (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Hukum
dan bacaan ini telah dinasakhkan.
6. Terjadinya
penambahan hukum dari hukum pertama. Menurut ulama Hanfiyyah hukum penambahan
ini berstatus naskh. Akan tetapi, jumhur ulama’ mengadakan perincian terhadap
hukum tambahan ini sebagaiberikut:
a)
Apabila hukum tambahan itu tidak
terkait erat dengan hukum yang ditambah, maka tidak dinamakan naskh, seperti
apabila dilakukan penambahan hukum kewajiban zakat kepada kewajiban shalat.
Penambahan ini tidak memberi pengaruh dalam kewajiban zakat, karena kedua
kewajiban itu berdiri sendiri.
b)
Apabila hukum yang
ditambahkan itu terkait erat dengan hukum yang ditambah, sehingga hukum yang
ditambahkan berubah, maka tambahn ini adalah nasakh. Misalnya, adanya
penambahan rekaat pada shalat subuh yang dua rekaat, sehingga esensi shalat
subuh itu berubah.
c)
Apabila penambahan
itu mempengaruhi bilangan tetapi tidak mengubah esensi hukum semula, maka
terjadi perbedaan pendapat ulama. Misalnya, hukum dera bagi orang yang menuduh
orang lain berbuat zina, yaitu 80 kali dera, ditambah 20 pukulan lagi, atau
hukuman buang bagi gadis yang melakukan zina ditambahkan pada hukuman dera 100
kali. Menurut jumhur ulama penambhan seperti ini tidak dinamakan naskh, karena
penambahan ini tidak membatalkan dan tidak mengubah hukum asalnya. Akan tetapi,
menurut ulama Hanafiyyah penambahan seperti ini pun termasuk naskh, karena
hukum asalnya telah berubah.
7. Terjadinya pengurangan terhadap hukum ibadah tertentu yang disyari’atkan.
Dalam kasus seperti ini para ulama ushul fiqih sepakat mengatakan bahwa ini
termasuk naskh. Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan contohnya.[5]
Tiada hukum syara' kecuali dapat menerima naskh. Hal ini adalah sesuatu
yang mungkin berdasarkan akal dan dan juga terjadi dalam hukum-hukum syara',
berdasarkan dalil-dalil yang ada. Hukum yang telah ditetapkan tidak dihapus,
melainkan hukum itu telah habis masanya karena adanya nash yang menunjukkan
berakhirnya masa hukum tersebut.
Pada intinya
yang perlu dicermati dari pembahasan diatas adalah bahwa dengan adanya konsep
naskh ini mencerminkan bahwa Allah, melalui al-Qur'an sesungguhnya ingin memperlihatkan
bahwa perkembangan tasyri' menuju
tingkat yang sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan
kondisi umat manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari apa yang telah penulis paparkan diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa:
1. Dari segi etimologi (bahasa) banyak arti dari kata Naskh diantaranya
yaitu: Al-izalah (menghapus), Al-tabdil
(menukar), al-Tahwil (mengubah), dan al-Naql (memindahkan).
2. Ada beberapa perdebatan dan argumentasi mengenai eksistensi naskh dalam
Al-Qur’an ialah: Menerima keberadaan naskh dalam Al-Qur’an dan Menolak
keberadaan naskh dalam Al-Qur’an.
3. Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat, yaitu: Naskh Sharih, Naskh
dhimmy, Naskh kully dan Naskh juz’i.
Adapun dari sisi otoritas
mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi naskh menjadi
4 macam: Naskh al-Qur'an dengan al-Qur'an, Naskh al-Qur'an dengan al-Sunnah, Naskh
al-sunnah dengan al-Qur'an dan Naskh al-Sunnah dengan al-Sunnah.
4. Konsep naskh mencerminkan bahwa Allah, melalui
al-Qur'an sesungguhnya ingin memperlihatkan bahwa perkembangan tasyri' menuju tingkat yang sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
B. Saran
Dengan makalah ini diharapkan dapat
menjadi salah satu dari referensi tentang materi Ushul Fiqih. Tiada gading yang
tak retak, begitu juga dengan makalah ini. Dengan segala keterbatasan dan
kemampuan penulis, maka untuk pengembangan lebih lanjut disarankan kepada para
pembaca untuk turut mencari di sumber-sumber yang lain guna menyempurnakan
materi serta dapat memberi masukan kepada penulis guna perbaikan dan
penyempurnaan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Chaerul Umam, dkk. 2000. Ushul
Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia.
M. Quraish Shihab. 2002. Membumikan
al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung:
Mizan.
Rosihon Anwar. Ulum Al-Qur’an. Bandung:
Pustaka Setia.
[1] M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung:
Mizan, 2002), hlm. 144.
[2] Ibid. hlm. 148.
[3] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia)
hlm. 169-172
[4] Ibid, hlm 173-175
[5] Chaerul Umam, dkk, Ushul
Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) Hlm. 199-200
Tidak ada komentar:
Posting Komentar