Senin, 10 April 2017

Ushul Fiqih: NASKH



MAKALAH
KAIDAH PENGGANTIAN ATAU PENGHAPUSAN HUKUM SYAR’I (NASKH)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen pengampu: Dra. Hj. Nurul Maziyah, M.M.






Disusun oleh:
1.      Muhammad Roib                 (141310003097)
2.      Choirin Widadiyah              (141310003147)
3.      Erni Johan                            (141310003068)
4.      Rohmatin  Maghfiroh          (141310003130)                     

 

UNIVERSITAS ISLAM NAHDHLATUL ULAMA’  ( UNISNU ) JEPARA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
Jl. Taman Siswa (pekeng) No. 09 Tahunan Jepara. Telp/Fax (0291)593132


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah membeikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat meyelesaikan makalah yang berjudul “Kaidah Penggantian atau Penghapusan Hukum Syar’i (Naskh) dengan baik.
Adapun maksud penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Selain itu kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang ushul fiqih, khususnya tentang Kaidah Penggantian atau Penghapusan Hukum Syar’i (Naskh).
Kami menyadari banyak sekali kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan di masa mendatang.

                                                                 Jepara, 29 Maret 2017



                                                                  Penulis














DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR...........................................................................................          i
DAFTAR ISI.........................................................................................................         ii

BAB I      PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ..........................................................................................         1
B.     Rumusan Masalah .....................................................................................         2
C.     Tujuan Makalah..........................................................................................         2

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Pengertian...................................................................................................         3
B.     Perdebatan Ulama’.....................................................................................         5
C.     Macam-macam Naskh................................................................................         7
D.    Kegunaan Konsep Naskh dan Eksistensinya ............................................       10

BAB III     PENUTUP
A.    Simpulan....................................................................................................       13
B.     Saran..........................................................................................................       13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................       14










BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur'an oleh umat Islam, secara normatif diyakini sebagai petunjuk untuk mengantarkan manusia kepada kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Untuk tujuan itu, maka al-Qur'an perlu dipahami, agar petunjuk yang terdapat di dalamnya mampu diserap untuk selanjutnya diekspresikan dalam kehidupan manusia di dunia ini. Sementara itu, sudah dimaklumi bahwa al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam rentan waktu kurang lebih 23 tahun. Meski demikian, tidak berarti terjadinya diskontinuitas pesan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Kandungan al-Qur'an merupakan satu-kesatuan yang utuh, tidak ada ikhtilaf atau terdapat kontradiksi internal.
Sejalan dengan hal itu, maka para penafsir berusaha keras untuk merekonsiliasikan makna ayat al-Qur'an yang dianggap bertentangan dengan makna ayat yang lain. Diantara persoalan yang muncul dari adanya kesan pertentangan/kontradiksi adalah masalah nasikh dan mansukh dalam al-Qur'an. Persoalan ini mencuat sewaktu para penafsir merasa kesulitan untuk merekonsiliasikan kesan pertentangan ayat tersebut, sementara diyakini bahwa kandungan al-Qur'an merupakan satu kesatuan. Dari sinilah sebenarnya muncul pertentengan antara penafsir tentang masalah ini, ada yang mendukung konsep naskh ini namun ada juga yang menolaknya.
Terlepas dari itu semua penulis akan mencoba untuk menjelaskan tentang konsep kaidah penggantian atau penghapusan hukum syar’i (naskh) dalam lingkup bahasan pengertian, perdebatan dan argumentasi ulama’ tentang eksistensi naskh, ragam dari naskh dan kegunaan konsep naskh dalam hukum islam dan eksistensinya dimasa yang akan datang.





B.     Rumusan Masalah
Untuk membatasi masalah agar lebih terpusat pada pokok persoalan sesuai dengan judul diatas, maka dalam makalah ini pemakalah menguraikan beberapa permasalahan yaitu:
1.      Apa pengertian Naskh?
2.      Bagaimana perdebatan dan argumentasi para ulama mengenai eksistensi naskh?
3.      Apa saja macam-macam naskh?
4.      Bagaimana kegunaan konsep naskh dalam hukum islam dan eksistensinya di masa mendatang?

C.       Tujuan Makalah
Berdasarkan pada permasalahan yang diajukan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian Naskh.
2.      Untuk mengetahui perdebatan dan argumentasi para ulama mengenai eksistensi naskh.
3.      Untuk mengetahui macam-macam naskh.
4.      Untuk mengetahui kegunaan konsep naskh dalam hukum islam dan eksistensinya di masa mendatang.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Dari segi etimologi (bahasa) banyak arti dari kata Naskh diantaranya yaitu:
Al-izalah (menghapus), dalam al-Qur'an surat Al-Hajj ayat 52 disebutkan
Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”

Al-tabdil (menukar) difirmankan Allah dalam surat Al-Nahl ayat 101 yang artinya
“Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui.”
Selain itu, naskh juga dapat berarti al-Tahwil (mengubah), selain itu juga dapat diartikan al-Naql yaitu memindahkan.
Pengertian lain dikemukakan dalam bingkai pemahaman ahli ushul fikih. Dalam pandangan ulama ushul fikih bahwa naskh adalah membatalkan penerapan hukum syar'i yang datang kemudian untuk suatu kemaslahatan bagi umat.
Dalam pengertian terminologi, kata naskh terdapat perbedaan pendapat antara para ulama. Ulama mutaqaddimin (abad I hingga III H) memperluas arti naskh hingga mencakup:
1)      pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian
2)      pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian
3)      penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
4)      penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Pengertian yang demikan luas, oleh ulama muta'akhirin dipersempit bahwa naskh hanya terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah ketetapan hukum yang terakhir.[1]
Dalam memahami pengertian naskh perspektif M. Quraish Shihab bahwa naskh ialah pergantian atau pemindahan dari satu wadah kepada wadah lain, dalam arti bahwa kesemua ayat al-Qur'an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang atau masyarakat lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.[2]

B.     Perdebatan Ulama’
Ada beberapa perdebatan dan argumentasi mengenai eksistensi naskh dalam Al-Qur’an ialah:
1.      Menerima keberadaan naskh dalam Al-Qur’an
Mayoritas ulama menerima keberadaan naskh dan mengemukakan argumentasi naqliah dan aqliah.
Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 106, yang artinya:
“untuk ayat apa saja kami tunda, atau kami sebabkan(rasul) melupakannya, maka kami akan datangkan lebih baik atau yang semisal dengannya”
Dan juga firman Allah dalam surat Ar-Radl ayat 39
“Allah akan menghapus atau menetapkan apa-apa yang dikehendakiNya   dan disisinyalah terdapat ummul kitab(lauh mahfudz).”
Dari ayat-ayat tersebut mayoritas ulama memandang bahwa ‘revisi’ Al-Qur’an telah terjadi. Gagasan lain yang mendasari mayoritas ulama akan teori naskh adalah penerapan perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam Al-Qur’an hanya bersifat sementara, dan bahwa seandainya keadaan telah berubah, perintah dihapus dan diganti dengan perintah yang baru. Namun, karena perintah-perintah itu kalam Allah, ia harus dibaca sebagai bagian dari Al-Qur’an.
Adapun dalil-dalil yang dikemukakan adalah:
a)      Naskh tidak hal yang terlarang menurut akal pikiran dan setiap yang tidak dilarang berarti boleh.
Mu’tazilah menambahkan bahwa hukum Allah itu wajib membawa maslahat habi hambanya. Adapun Ahl Sunnah mengatakan bahwa tidak ada yang wajib bagi Allah sesuatupun terhadap hambanya. Oleh karena itu, kalaupun Allah menasakh kannya tidak akan membawa akibat kepada hukumnya. Namun, semua hukum Allah dan perbuatannya adalah himmah balighah,ilmu yang luas dan mahasuci dari sifat jahat dan aniaya.
b)      Seandainya naskh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi, syar’i tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hambanya dengan perintah sementara dan melarangnya dengan larangan sementara. Akan tetapi para penentang naskh berkata bahwa perintah dan larangan itu dapat terjadi.
c)      Seandainya naskh itu tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat tidak akan ditetapkan risalah Muhammad SAW kepada seuruh alam. Sedangkan semuanya mengakui bahwa risalah itu semua berlaku untuk seluruh alam dengan dalil yang pasti. Syariat yang terdahulu dengan sendirinya akan kekal, tetapi akan dinnaskhkan oleh syariat yang terakhir.
d)     Naskh terjadi menurut nash. keadaan terjadi “AlWuqu’” memberikan pengertian boleh bertambah (aj-jawaz wa ziyadah)
Mengenai kemungkinan terjadinya naskh dalam Al-Qur’an Abdul Wahab Khalaf menuturkan bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an bisa menerima naskh, seperti ayat-ayat yang mengandung asasi (pokok) yang tidak bisa berubah dengan perubahan kondisi manusia. Misalnya ayat-ayat tentang akidah, pokok-pokok ibadah, keadilan, kejujuran, dan sebagainya. Begitu pula,dengan ayat-ayat yang berisi berita yang tidak mengandung berita atau larangan seperti berita-berita umat terdahulu. Ayat seperti ini, secara tekstual menunjukan bahwa ketentuan hukumnya berlaku sepanjang masa.
2.      Menolak keberadaan naskh dalam Al-Qur’an
Menurut ulama yang sependapat ini bahwa, naskh diberi pengertian bukan sebagai pembatalan, tetapi sebagai pergantian, pengalihan dan pemindahan ayat hukum disuatu tempat kepada ayat hukum ditempat lain. Terhadap argumentasi mayoritas ulama yang didukung oleh surat an-nahl ayat 101, al-ashfahani membantahnya dengan mengajukan ayat 42 surat al-fushilat
“yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari rabb yang maha bijaksana lagi maha terpuji.”
Mayoritas ulama merasa keberatan terhadap pendapat al-ashfani sebab bagi menreka, ayat tidak berbicara tentang ‘pembatalan’ tetapi tentang ‘kebatilan’ yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil, sebab sesuatu yang dibatalkan penggunaanya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu wahyu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar. Quraish shihab menyimpulkan semua ayat Al-Qur’an pada dasarnya berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif pada suatu waktu. Pada waktu yang berlainan akan tetap berlaku bagi orang-orang yeng memiliki kesesuaian dengan apa yang ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan.[3]

C.     Macam-macam Naskh
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Qur’an  dibagi menjadi empat, yaitu:
1.      Naskh Sharih
yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang perng (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal(8) yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir.
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti.”(QS.Al-Anfal: 65)
 Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:
“ Sekarang Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu  orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” (QS.Al-Anfal: 66)
2.      Naskh dhimmy
yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2):
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib kerabatnya secara ma’ruf.”
Ayat ini di-naskh oleh suatu hadist yang mempunyai arti tidak ada wasiat bagi ahli waris.
3.      Naskh kully
yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) 234 di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4.      Naskh juz’i
yaitu menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu,atau menghapus hukum yang bersifat  muthlaq dengan ukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.[4]
Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi naskh menjadi 4 macam:
1.      Naskh al-Qur'an dengan al-Qur'an
Naskh al-Qur'an dengan al-Qur'an, ini merupakan bagian yang disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mendukung adanya naskh dalam al-Qur'an. Misalnya ada ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240,
Artinya: "Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Ayat ini kemudian di naskh oleh surah yang sama pada ayat 234:
Artinya "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat".
2.      Naskh al-Qur'an dengan al-Sunnah
a)      Naskh al-Qur'an dengan hadis ahad.
Jumhur ulama berpendapat bahwa al-Qur'an tidak boleh di-naskh oleh hadis ahad, sebab al-Qur'an adalah mutawatir dan menunjukkan keyakinan, sedangkan hadis ahad adalah bersifat zhanni atau bersifat dugaan, disamping juga tidaklah sah menghapuskan sesuatu yang jelas diketahui dengan sesuatu yang masih bersifat dugaan.
b)      Naskh al-Qur'an dengan hadis yang mutawatir.
Dalam pandangan imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, hal semacam ini adalah dibolehkan. Alasan mereka adalah bahwa keduanya merupakan wahyu, sedangkan dalil yang mereka gunakan untuk mendukung pendapat ini adalah surah al-Najm ayat 4-5, selain itu juga surah al-Nahl ayat 44, dan naskh itu sendiri menurut mereka adalah merupakan salah satu penjelasan.
Sementara itu, Imam Syafi'i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayat lain menyatakan penolakan terhadap naskh al-Qur'an dengan hadis mutawatir, ini berdasarkan al-Qur'an surah al-Baqarah ayat 106 "Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya". Sementara itu hadis adalah tidak lebih baik dari atau sebanding dengan al-Qur'an.

3.      Naskh al-sunnah dengan al-Qur'an
Menurut jumhur ulama bahwa me-naskh al-Sunnah dengan al-Qur'an, merupakan suatu kebolehan dan ini pernah terjadi. Sebagai contoh penetapan arah kiblat, awalnya oleh Rasul SAW. melalui hadisnya dinyatakan bahwa kiblat umat Muslim adalah Baitul Maqdis, kemudian turun ayat yang menaskh  hal ini dengan menunjukkan bahwa arah kiblat adalah ke arah Masjidil Haram. Firman-Nya:"Maka palingkanlah wajahmu ke Arah Masjidil Haram". Q.S. al-Baqarah ayat: 144.
4.      Naskh al-Sunnah dengan al-Sunnah
a)      Naskh hadis mutawatir dengan hadis mutawatir
b)      Naskh hadis ahad dengan hadis ahad
c)      Naskh hadis ahad dengan hadis mutawatir
d)     Naskh hadis mutawatir dengan hadis ahad.
Pada kategori tiga bentuk yang pertama, menurut jumhur diperbolehkan, sementara pada bentuk yang keempat terjadi perbedaan seperti halnya naskh al-Qur'an dengan hadis ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur ulama.

D.    Kegunaan Konsep Naskh dan Eksistensinya
Naskh dalam penerapan hukum islam mayoritas ulama’ berpendaat dalam bermacam-macam, diantaranya:
1.      Naskh yang tidak ada gantinya, seperti pembatalan hukum memberika sodaqoh kepada orang miskin bagi orang yang ingin melakukan pembicaraan khusus dengan Rasulullah. Hukum ini telah dibatalkan Allah, tetapi tidak diberikan gantinya.
2.      Naskh yang ada penggantinya. Pengganti itu adakalanya lebih ringan daripada yang dibatalkan dan adakalanya lebih berat daripada yang dibatalkan. Penggantian hukum dengan yang lebih ringan, misalnya kewajiban shalat 50 kali sehari diganti dengan 5 kali.
Hukum penggantinya yang lebih berat adalah dalam cara berdakwah. Pada masa awal islam, Allah memerintahkan untuk berdakwah secara damai, tanpa peperangan, tapi kemudian hukum ini diubah dan Allah mengizinkan untuk melakukan jihad dengan peperangan.
3.      Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku, seperti hukuman rajam bagi orang tua, laki-laki dan perempuan melakukan zina.
4.      Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada, seperti pembatalan hukum memberi shadaqah kepada orang miskin apabila seseorang akan berbicara secara khusus dengan Rasulullah, dan ayat tersebut masih utuuh dalam Al-Qur’an.
5.      Penghapusan terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Seperti sebuah riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa ketika ayat Al-Qur’an masih diturunkan, susuan yang mngharamkan untuk saling menikahi antara orang yang menyususkan dengan orang yang disusui itu adalah sepuluh kali susuan (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Hukum dan bacaan ini telah dinasakhkan.
6.      Terjadinya penambahan hukum dari hukum pertama. Menurut ulama Hanfiyyah hukum penambahan ini berstatus naskh. Akan tetapi, jumhur ulama’ mengadakan perincian terhadap hukum tambahan ini sebagaiberikut:
a)      Apabila hukum tambahan itu tidak terkait erat dengan hukum yang ditambah, maka tidak dinamakan naskh, seperti apabila dilakukan penambahan hukum kewajiban zakat kepada kewajiban shalat. Penambahan ini tidak memberi pengaruh dalam kewajiban zakat, karena kedua kewajiban itu berdiri sendiri.
b)      Apabila hukum yang ditambahkan itu terkait erat dengan hukum yang ditambah, sehingga hukum yang ditambahkan berubah, maka tambahn ini adalah nasakh. Misalnya, adanya penambahan rekaat pada shalat subuh yang dua rekaat, sehingga esensi shalat subuh itu berubah.
c)      Apabila penambahan itu mempengaruhi bilangan tetapi tidak mengubah esensi hukum semula, maka terjadi perbedaan pendapat ulama. Misalnya, hukum dera bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina, yaitu 80 kali dera, ditambah 20 pukulan lagi, atau hukuman buang bagi gadis yang melakukan zina ditambahkan pada hukuman dera 100 kali. Menurut jumhur ulama penambhan seperti ini tidak dinamakan naskh, karena penambahan ini tidak membatalkan dan tidak mengubah hukum asalnya. Akan tetapi, menurut ulama Hanafiyyah penambahan seperti ini pun termasuk naskh, karena hukum asalnya telah berubah.
7.      Terjadinya pengurangan terhadap hukum ibadah tertentu yang disyari’atkan. Dalam kasus seperti ini para ulama ushul fiqih sepakat mengatakan bahwa ini termasuk naskh. Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan contohnya.[5]
Tiada hukum syara' kecuali dapat menerima naskh. Hal ini adalah sesuatu yang mungkin berdasarkan akal dan dan juga terjadi dalam hukum-hukum syara', berdasarkan dalil-dalil yang ada. Hukum yang telah ditetapkan tidak dihapus, melainkan hukum itu telah habis masanya karena adanya nash yang menunjukkan berakhirnya masa hukum tersebut.
Pada intinya yang perlu dicermati dari pembahasan diatas adalah bahwa dengan adanya konsep naskh ini mencerminkan bahwa Allah, melalui al-Qur'an sesungguhnya ingin memperlihatkan bahwa perkembangan tasyri'  menuju tingkat yang sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.




BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Dari apa yang telah penulis paparkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.      Dari segi etimologi (bahasa) banyak arti dari kata Naskh diantaranya yaitu:  Al-izalah (menghapus), Al-tabdil (menukar), al-Tahwil (mengubah), dan al-Naql (memindahkan).
2.      Ada beberapa perdebatan dan argumentasi mengenai eksistensi naskh dalam Al-Qur’an ialah: Menerima keberadaan naskh dalam Al-Qur’an dan Menolak keberadaan naskh dalam Al-Qur’an.
3.      Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Qur’an  dibagi menjadi empat, yaitu: Naskh Sharih, Naskh dhimmy, Naskh kully dan Naskh juz’i.
Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi naskh menjadi 4 macam: Naskh al-Qur'an dengan al-Qur'an, Naskh al-Qur'an dengan al-Sunnah, Naskh al-sunnah dengan al-Qur'an dan Naskh al-Sunnah dengan al-Sunnah.
4.      Konsep naskh mencerminkan bahwa Allah, melalui al-Qur'an sesungguhnya ingin memperlihatkan bahwa perkembangan tasyri'  menuju tingkat yang sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
B.     Saran
Dengan makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu dari referensi tentang materi Ushul Fiqih. Tiada gading yang tak retak, begitu juga dengan makalah ini. Dengan segala keterbatasan dan kemampuan penulis, maka untuk pengembangan lebih lanjut disarankan kepada para pembaca untuk turut mencari di sumber-sumber yang lain guna menyempurnakan materi serta dapat memberi masukan kepada penulis guna perbaikan dan penyempurnaan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Chaerul Umam, dkk. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia.
M. Quraish Shihab. 2002. Membumikan al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Rosihon Anwar. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.



[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 144.
[2]  Ibid. hlm. 148.
[3] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia) hlm. 169-172
[4] Ibid, hlm 173-175
[5]  Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) Hlm. 199-200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar