Selasa, 03 November 2020

KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM MASA DAULAH SYAFAWI

Setelah mangkatnya Khalifah Abbas I, Daulah Syafawi berturut-turut diperintah oleh enam Khalifah, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husein (1694- 1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M) dan Abbas III (1733-1736 M). Pada masa pemimpin-pemimpin tersebut kondisi Daulah Syafawi tidak menunjukkan kemajuan atau berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran.

Kemunduran pertama terjadi pada masa Safi Mirza (cucu Abbas I), karena dia seorang pemimpin yang lemah dan sangat kejam terhadap pembesar-pembesar Daulah. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu, sifat tidak baiknya akhirnya mengakibatkan mundurnya kemajuan kemajuan yang telah diperoleh dalam pemerintahan sebelumnya.

Satu persatu wilayah kekuasaan Daulah Syafawi lepas ke penguasa daulah lain. Kota Qandahar diduduki oleh Daulah Mughal yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh Daulah Usmani. Abbas II suka minum- minuman keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya rakyat bersikap  masa bodoh terhadap pemerintah.

Pemberontakan terjadi pertama kali tahun 1709 M dilakukan oleh bangsa Afghan di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Heart, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga ia mampu merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Syafawi.

Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi gebernur di Qandahar  dengan gelar Husei Quli Khan (budak Husein). Dengan pengakuai ini, Mir Mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun 1721 M, ia merebut Kirman dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan memaksa Shah Husein menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M Shah Husein menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.

Salah seorang putera Husein yaitu Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamirkan dirinya sebagai penguasa yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di Astarabad. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Pengganti Mir Mahmud, Asyraf yang berkuasa di Isfahan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu.

Dengan demikian Daulah Syafawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mendaulat dirinya sebagai Daulah menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulah Syafawi di Persia.

Adapun sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Daulah Syafawi adalah:

1.            Adanya konflik yang berkepanjangan dengan Daulah Usmani. Berdirinya Daulah Syafawi yang bermadzhab Syi'ah merupakan ancaman bagi Daulah Usmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian antara dua penguasa besar ini.

2.            Terjadinya dekadensi moral yang melanda sebagian pemimpin Daulah Syafawi, yang juga ikut mempercepat proses kehancuran Daulah ini. Khalifah Sulaiman yang pecandu narkotik dan menyenangi kehidupan malam selama hampir tujuh tahun tidak menyempatkan diri menanggapi pemerintahan.

3.            Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat juang yang tinggi seperti semangat Qizilbash. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental karena tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap runtuhnya ketahanan dan pertahanan Daulah Syafawi.

4.            Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.

KEMAJUAN PERADABAN ISLAM MASA DAULAH SYAFAWI

Pencapaian Daulah Syafawi tidak hanya dalam bidang politik. Dalam bidang yang lain terdapat kemajuan yang signifikan. Lahirnya para ilmuwan dan arsitek pada zaman itu berpengaruh besar terhadap karya-karya yang tercipta, sehingga menjadi monumen-monumen penting dalam perjalanan Daulah Syafawi. Pilar-pilar kemajuan tersebut sampai sekarang masih banyak yang bisa disaksikan dan menjadi destinasi wisata internasional.

Di antara kemajuan-kemajaun tersebut antara lain :

1.                                Bidang Ekonomi

Kemajuan ekonomi pada masa itu bermula dengan penguasaan atas kepulauan Hurmuz dan pelabuhan Gumrun yang diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan demikian Syafawiyah menguasai jalur perdagangan antara Barat dan Timur. Jalur yang pada mulanya diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis.

Di samping sector perdagangan, Syafawiyah juga mengalami kemajuan dalam bidang pertanian, terutama hasil pertanian dari daerah Bulan Sabit yang sangat subur (Fertille Crescent).

2.                                       Bidang Ilmu Pengetahuan

Sepanjang sejarah Islam Persia dikenal sebagai bangsa yang telah berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya tidaklah mengherankan apabila pada masa Daulah Syafawi, tradisi keilmuan terus berkembang dengan baik.

Pada Daulah Syafawiyah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal di antaranya Baha al-Din al-Syaerazi (generalis ilmu pengetahuan), Sadr al-Din al-Syirazi (filsuf) dan Muhammad Baqir ibn Muhammad Damad (filsuf, ahli sejarah, teolog, yang pernah mengadakan observasi atas kehidupan lebah). Ilmu fikih juga berkembang baik pada saat itu, di antara tokohnya adalah Baharuddin Al-Amili, selain sebagai pakar agama, ia juga sebagai ahli kebudayaan yang mengetahui persoalan-persoalan dari berbagai segi

3.                                       Bidang Pembangunan Fisik dan Seni

Para pemimpin Daulah Syafawi telah mengubah wajah Isfahan, yang merupakan pusat pemerintahan menjadi kota yang sangat indah. Isfahan merupakan kota yang sangat penting bagi tujuan politik, ekonomi dan  ilmu pengetahuan. Di kota tersebut berdiri bangunan-bangunan megah seperti masjid, rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil Satun.

Kota Isfahan menjadi semakin indah dengan dibuatnya taman-taman wisata terbuka. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.

Dalam bidang seni, arsitektur bangunan-bangunannya yaitu seperti yang terlihat pada masjid Shah (1611 M) dan masjid Syaikh Lutf Allah (1603 M). Unsur seni lainnya juga terlihat pada hasil kerajinan tangan, keramik, permadani, karpet, pakaian, tembikar dan lain-lain. Seni lukis juga sudah mulai muncul pada masa ini tepatnya pada saat Sultan Tahmaps I berkuasa.

Daulah Syafawi telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan seni dan gedung-gedung yang memiliki nilai sejarah yang tinggi.

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAULAH SYAFAWI

Pada masa kepemimpinan Abbas I, Daulah Syafawiyah perlahan-lahan mengalami kemajuan. Langkah-langkah yang ditempuh Abbas I dalam memajukan Daulah Syafawi di antaranya adalah :

1.  Berusaha menghilangkan dominasi Qizilbash atas Daulah Syafawiyah dengan cara membentuk pasukan-pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak yang berasal dari tawanan-tawanan bangsa Georgia, Armania, dan Sircassia yang ada sejak pemerintahan Tahmasp I.

2.  Mengadakan perjanjian damai dengan Daulah Usmani. Di samping itu, Abbas I berjanji untuk tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan dalam khutbah-khutbah Jum’at. Sebagai jaminan atas syarat-syarat tersebut, Abbas I menyerahkan saudara sepupunya yaitu Haidar Mirza sebagai sandera di Istanbul.

Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan Daulah Syafawi. Ia berhasil mengatasi gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan sekaligus berhasil merebut kembali beberapa wilayah kekuasaan yang pernah direbut oleh Daulah lain seperti Tabriz, Sirwan dan sebagainya yang sebelumnya lepas direbut oleh Daulah Usmani.

Silsilah pucuk pimpinan Syafawiyah yang dimulai dari suatu gerakan tarekat hingga pada akhirnya menjadi gerakan politik dan kemudian menjadikannya sebuah Daulah adalah sebagai berikut; saat menjadi gerakan tarekat secara berturut-turut tarekat ini dipimpin oleh:

1.  Syeikh Safiuddin Ardabili (w. 1334 M),

2.  Sadruddin Musa (w. 1391 M),

3.  Khwaja Ali (w. 1429 M),

4.  Ibrahim, Junaid (w. 1460 M),

5.  Haidar (w.1488 M),

6.  Ali (w. 1501 M).

Sesudah menjadi Daulah Syafawi, kekuasaan secara berturut-urut dipimpin oleh;

1.     Isma'il I (1501-1524 M),

2.     Tahmasb I (1524-1576 M),

3.     Isma'il II (1576-1577 M),

4.     Muhammad Khudabanda (1577-1587 M),

5.     Abbas I (1587-1628 M),

6.     Safi Mirza (1628-1642 M),

7.     Abbas II (1642-1667 M),

8.     Sulaiman (1667-1694 M),

9.     Husein I (1694-1722 M),

10.  Tahmasb II (1722-1732 M),

11.  Abbas III (1732-1736 M).

SEJARAH LAHIRNYA DAULAH SAFAWI

 A.        Sejarah Lahirnya Daulah Syafawi

Daulah Syafawi di Persia baru berdiri pada waktu Daulah Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaannya. Namun pada kenyataannya, Daulah Syafawi berkembang dengan sangat cepat. Istilah nama Syafawi ini terus dipertahankan sampai tharekat Syafawiyah menjadi sebuah gerakan politik dan menjadi Daulah yang disebut Daulah Syafawi. Dalam perkembangannya, Daulah Syafawi sering berselisih dan bersinggungan dengan Daulah Turki Usmani.

Daulah Syafawi merupakan peletak dasar berdirinya negara Iran. Salah satu negara yang memiliki percepatan tekhnologi di dunia. Berbeda dengan Daulah Usmani, Daulah Syafawi adalah menganut madzhab tertentu dalam kegiatan keagamaannya.

Sebelum Daulah Syafawi berdiri, cikal bakal lahirnya daulah tersebut  dimulai dari sebuah gerakan tharekat Syafawiyah yang berdiri di daerah Ardabil kota Azerbaijan. Nama tharekat ini sesuai dengan nama pendirinya yaitu Safi al-Din, salah satu keturunan Musa al-Kazim. Awal mulanya tharekat ini bertujuan meluruskan orang-orang yang ingkar dan pada akhirnya memerangi orang-orang yang keluar dari rambu-rambu syari`ah. Tharekat ini menjadi semakin penting setelah ia berubah bentuk dari pengajian tasawuf murni yang bersifat local menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia.

Dalam perkembangan berikutnya penganut tharekat Syafawiyah sangat fanatik terhadap ajaran-ajarannya. Hal tersebut ditandai dengan adanya i`tikad yang kuat dari kalangan mereka untuk mendirikan sebuah kekuasaan tersendiri. Dengan dukungan yang kuat dari pengikutnya, lama-kelamaan para pengikut tharekat Syafawiyah membentuk suatu kekuatan yang mandiri, fanatik, penuh percaya diri.

Di bawah kepemimpinan Juneid (1447-1460 M) terbentuklah prajurit yang kuat dan siap untuk memasuki dunia perpolitikan. Daulah Syafawi melebarkan sayapnya dengan menumbuhkan kegiatan politik di dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Efek dari gerakan tersebut ternyata menimbulkan konflik dengan penguasa Kara Koyunlu (salah satu suku Turki) dan kelompok Juneid dikalahkan dan kemudian Juneid diasingkan. Nasib baik masih menaungi Juneid tempat pengasingan Juneid mendapatkan perlindungan dari Diyar Bakr, ia juga suku bangsa Turki yang tinggal di Istana Uzun Hasan, penguasa sebagian besar Persia.

Jalan berliku dilalui oleh Juneid. Tahun 1459 Juneid mencoba merebut Ardabil tapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia tetapi dihadang oleh tentara Sirwan dan ia terbunuh dalam peristiwa pertempuran tersebut. Kepemimpinan Juneid dilanjutkan oleh anaknya, yaitu Haidar. Haidar lalu menikah dengan cucu Uzun Hasan, dari pernikahannya lahirlah Ismail yang kelak di kemudian hari menjadi pendiri Daulah Syafawi di Persia.

Gerakan Haidar yang memimpin militer Syafawi menjadikannya sebagai rival politik AK Koyunlu yang dapat dikalahkan pada tahun 1476 M. Sircassia dapat dikuasai. Namun AK Koyunlu mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan, akhirnya pasukan Haidar dapat dikalahkan dan Haidar terbunuh. Putera Haidar yang bernama Ali didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu. Akan tetapi Ya'kub pemimpin Kara Koyunlu menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim, Ismail dan ibunya di Fars (1489-1493 M). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putera mahkota AK Koyunlu dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah dapat dikalahkan, Ali bersaudara kembali ke Ardabil. Namun, tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara dan Ali terbunuh (1494 M).

Periode berikutnya, kepemimpinan gerakan Syafawi diserahkan pada Ismail yang kala itu masih berusia 7 tahun. Dalam kurun waktu 5 tahun, Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan untuk menyusun pasukan dan kekuatan. Pasukan yang di persiapkan itu diberi nama Qizilbash (baret merah). Pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash dibawah pimpinan Ismail menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu (domba putih) di Sharur dekat Nakh Chivan. Qizilbash terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, akhirnya berhasil dan mendudukinya. Di kota Tabriz inilah Ismail memproklamirkan dirinya sebagai Khalifah pertama Daulah Syafawi.

Ismail I memimpin Daulah Syafawi kurang lebih 23 tahun, yaitu antara 1501-1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Membersihkan sisa-sisa kekuatan Kara Koyunlu di Hamadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M) Baghdad dan daerah Barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M) dan Khurasan. Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent).

Ambisi politik Ismail mendorongnya untuk terus mengembangkan wilayah kekuasaan ke daerah-daerah lainnya seperti Turki Usmani. Ismail berusaha mengekspansi wilayah Daulah Usmani (1514 M), tetapi dalam usaha pertama ini Ismail I mengalami kekalahan, justru Turki Usmani yang di pimpin oleh sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Daulah Syafawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi konflik dalam negeri antara kalangan militer.

Secara terus menerus, antara Daulah Syafawi dan Daulah Usmani selalu terjadi konflik yang berkepanjangan, hal tersebut menjadikan Daulah Syafawi tidak semakin kuat. Setidak nya pernah terjadi tiga peperangan pada masa Tahmasb (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1567 M). Tidak hanya konflik yang terjadi dengan Daulah Usmani, di dalam negeri juga terjadi pertentangan antar kelompok yang memicu perang saudara.

KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB

 1.           Mengenal Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib lahir pada hari Jumat 13 Rajab tahun 600 M di kota Makkah. Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib ibn Abdil Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrahi bin Ka’ab ibn Lu’ay. Ali bin Abi Thalib termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwaluun dari kalangan anak-anak. Sejak kecil beliau diasuh oleh Rasulullah Saw, oleh sebab itu beliau terdidik dalam kesempurnaan akhlaq dan sifat-sifat yang terpuji.

Pada awal dakwah Rasulullah Saw, Ali selalu mengikuti kemanapun Rasulullah Saw pergi termasuk ketika harus sembunyi-sembunyi melakukan sholat di lembah-lembah Makkah. Ali juga rela mempertaruhkan jiwanya untuk Rasulullah Saw ketika pada malam hijrah ke Yasrib beliau menggantikan tidur di pembaringan Rasulullah Saw.

Dari segi keilmuan, Ali bin Abi Thalib termasuk ulama dan hakim terkemuka dikalangan sahabat, hingga salah satu gelar yang disematkan kepadanya adalah babul ‘ilmi (pintunya ilmu). Para sahabat senior banyak yang berkonsultasi kepada Ali mengenai masalah masalah keilmuan yang mereka hadapi, keluasan dan kedalaman ilmu yang dimiliki oleh Ali tidak diragukan lagi.

Dalam sebagian besar perang Rasulullah Saw, ia selalu bertugas membawa panji-panji perang. Keberanian, kepahlawanannya, dan kepiawaiannya tak ada tandingannya sehingga diberi julukan asadullah (singa Allah). Ali ikut serta dalam perang Badar maupun perang-perang lainnya, hanya saja pada peristiwa perang Tabuk, Ali tidak ikut serta karena mendapat tugas dari Rasulullah Saw untuk menjaga keluarga beliau dan menggantikannya memimpin kota Madinah.

Sepeninggal Rasulullah Saw, Ali menjadi tempat para sahabat meminta pendapat. Meskipun tegas dan keras dalam setiap pertempuran, tetapi beliau memiliki sifat penyayang yang luar biasa. Beliau tak segan-segan menyedekahkan makanan yang seharusnya diperuntukkan bagi keluarganya. Ketika Abu Bakar, Umar bin Khathab dan Usman bin Affan menjadi khalifah, mereka tak segan untuk meminta pendapat dari Ali tentang suatu persoalan dan sebelum mengambil suatu tindakan.

2.           Pengangkatan Ali bin Abi Thalib

Ketika terjadi pengepungan atas khalifah Usman bin Affan oleh para pemberontak, Ali bin Abi Thalib meminta dua orang putranya Hasan dan Husain untuk menjaga khalifah Usman, namun akhir dari pengepungan itu adalah meninggalnya Usman bin Affan.

Pasca peristiwa itu, para sahabat berkumpul dan mengutarakan pendapat mereka kepada Ali bin Abi Thalib,“Usman telah tiada dan umat membutuhkan pemimpin, sampai saat ini tidak ada seorangpun yang pantas menjadi pemimpin umat Islam selain engkau, dan tak ada juga seorangpun yang lebih senior dalam Islam dan lebih dekat dengan Rasulullah Saw selain engkau”. Ali menolak penunjukan itu, dan beliaupun belum mengambil tindakan apa pun.

Sementara keadaan semakin kacau dan menghawatirkan sehingga Ali ragu ragu untuk mengambil keputusan dan tindakan. Mereka terus mendesak Ali untuk bersedia menjadi khalifah dan mengingatkan keadaan yang lebih buruk akan terjadi jika Ali tidak bersedia menjadi khalifah. Akhirnya Ali bin Abi Thalib bersedia dan dibai’at menjadi khalifah pada tanggal 24 Juni tahun 656 M di Masjid Nabawi.

Setelah bai’at terlaksana, Ali pun berpidato dan berpesan kepada kaum muslimin “Allah telah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk untuk membedakan yang baik dari yang buruk. Karena itu, lakukanlah kebaikan dan tinggalkan keburukan”.

Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib penuh dengan gejolak, hal ini dipicu oleh konflik internal yang muncul silih berganti, sehingga menghambat pemerintahannya. Gejolak ini juga yang mengakibatkan pada subuh tanggal 17 bulan Ramadhan 40 H Ali bin Abi Thalib ditikam oleh Ibnu Muljam, pada 20 Ramadhan beliau meninggal dan dimakamkan di Kufah. Beliau meninggal dalam usia 63 tahun dan menjadi khalifah selama 4 tahun 9 bulan.

3.           Substansi dan Strategi Dakwah Ali bin Abi Thalib

Masa pemerintahan Ali bin Abi thalib yang singkat dihabiskan untuk meredam beberapa pemberontakan yang terjadi. Ada dua pemberontakan yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan perang Jamal (antara Ali dan Aisyah) dan perang Siffin (antara Ali dan Muawiyah). Beberapa strategi dan ketetapan Ali bin Abi Thalib:

a.        Memecat kepala-kepala daerah yang diangkat Usman, kemudian mengirim kepala daerah baru yang akan menggantikan mereka.

b.        Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Usman kepada kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Ustman kepada siapapun yang tidak beralasan diambil kembali untuk dikuasai Negara.

B.         Hikmah Pembelajaran

1.            Khalifah Abu Bakar as-Shidiq merupakan khalifah yang cerdas, jujur dan mempunyai kepribadian yang tulus serta seorang pemimpin yang demokratis

2.            Khalifah Umar bin Khatab merupakan sosok yang pemberani dan tegas dalam memimpin

3.            Khalifah Usman bin Affan adalah seorang yang sangat dermawan dan juga cerdas

4.            Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat Rasulullah Saw dan banyak mewarisi ilmu beliau, sehingga Ali terkenal juga dengan kecerdasan dan keluasan  ilmu yang dimilikinya

Link Vidio bisa diklik:

Vidio Pembelajaran Materi Khalifah Ali bin Abi Thalib

KHALIFAH USTMAN BIN AFFAN

 1.           Mengenal Ustman bin Affan

Usman bin Affan lahir di Makkah 5 tahun setelah Tahun Gajah, ada juga pendapat yang mengatakan beliau lahir di Thaif, usia Usman lima tahun lebih muda dari Rasulullah Saw. Nama lengkapnya adalah Usman bin Affan bin Abu al-Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab. Nasabnya bertemu Rasulullah Saw pada Abdul Manaf.

Pada masa jahiliyah, Usman bin Affan termasuk manusia terkemuka di kabilahnya; dia orang terkenal, hartawan, sangat pemalu, halus tutur bahasanya, dicintai dan sangat dihormati kaumnya. Usman bin Affan sama sekali belum pernah bersujud kepada berhala dan tidak pernah melakukan perbuatan keji. Sebelum masuk Islam pun beliau tidak pernah meminum khamr dan sejenisnya.

Usman sangat memelihara pandangannya, ia juga menguasai ilmu yang berkembang di Arab masa jahiliyah. Ustman menekuni dunia perdagangan yang diwarisi dari ayahnya, sehingga hartanya dapat berkembang dan menempatkan posisinya dalam daftar tokoh-tokoh Bani Umayyah yang diperhitungkan di Suku Quraiys secara keseluruhan.

Usman bin Affan termasuk Assabiqqunal Awalun atas ajakan Abu Bakar. Rasulullah kemudian menikahkannya dengan putri beliau bernama Ruqayah. Ketika kaum musyrik Quarisy menyiksa kaum Muslimin, Usman hijrah bersama istrinya ke Habaysah kemudian kembali ke Makkah sebelum peristiwa hijrah ke Madinah.

Usman bin Affan menyaksikan seluruh peristiwa dan peperangan bersama Rasulullah Saw, kecuali perang Badar, karena saat perang Badar terjadi beliau sedang merawat Ruqayyah yang akhirnya meninggal seusai perang Badar. Setelah itu Rasulullah Saw menikahkannya dengan putrinya yang lain bernama Ummu Kultsum, itulah sebab mengapa Usman diberi gelar Dzunnurrain (pemilik dua cahaya)

Usman bin Affan terkenal sebagai sahabat yang sangat dermawan, pada peristiwa perang Tabuk di mana waktu itu umat Islam sangat membutuhkan biaya untuk mencukupi perlengkapan dan kebutuhan untuk berperang, Usman bin Affan menyumbangkan 940 unta dan enam puluh ekor kuda untuk menggenapi jumlah seribu. Usman juga menyumbangkan 10.000 dinar untuk membiayai pasukan usra (pasukan muslim dalam Perang Tabuk yang berarti pasukan dalam kesusahan).  Usman telah banyak menginfakkan hartanya untuk dakwah Islam, termasuk waktu itu membeli sumur dengan hartanya, lalu mendermakannya kepada kaum muslimin.

2.           Pengangkatan Usman bin Affan

Akhir masa pemerintahan Umar bin Khathab diwarnai dengan  penikaman yang dilakukan oleh Abu Lu’Luah budak dari Mughirah bin Syu’bah. Setelah peristiwa penikaman itu Umar merasa ajalnya semakin dekat, maka ia meminta untuk menunjuk khalifah penggantinya. Metode pemilihan khalifah baru yang digagas oleh Umar bin Khathab adalah musyawarah yang dilakukan oleh orang-orang terbatas.

Umar bin Khathab memilih enam orang shabat Rasulullah yang kesemuanya pantas untuk menjadi pemimpin. Umar juga menetapkan cara pemilihan, masanya, jumlah suara yang cukup untuk memilih khalifah, keputusan majlis, cara pemilihan ketika suara imbang, dan memerintahkan kepada para pasukan untuk mengawasi jalannya pemilihan, mencegah kekacaan dengan cara tidak memperbolehkan orang yang tidak berkepentingan untuk masuk atau mendengar pembahasan majlis. Majlis ini dikenal dengan Ahhlul Halli wal-Aqdi.

Enam orang sahabat ini terdiri dari; Ali bin Abi Thalib, Utman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqash, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Khalifah Umar bin Khathab menggabungkan antara menentukan calon khalifah sebagaimana dilakukan Abu Bakar dan antara tidak menentukan  sebagaimana dilakukan Rasulullah Saw. Umar menentukan enam orang dan meminta mereka untuk menentukan siapakah yang dipilih menjadi khalifah diantara mereka.

Setelah bermusawarah diantara ke enam sahabat maka terpilihlah Usman bin Affan sebagai khalifah selanjutnya. Usman bin Affan dibai’at menjadi khalifah pada hari senin 28 Dzulhijjah tahun 23 H, dan mulai menjalankan tugas kekhalifahannya pada bulan Muharam tahun 24 H. Usman bin Affan wafat pada 18 Dzulhijjah tahun  35 H bertepatan dengan 20 Mei 656 M setelah menjadi khalifah selama kurang lebih 12 tahun.

3.           Substansi dan strategi Usman bin Affan

Selama kurang lebih 12 tahun masa pemerintahannya banyak terjadi gejolak internal terutama paroh terakhir masa pemerintahannya. Beberapa hal yang terjadi dan menjadi strategi kepemimpinan Usman bin Affan;

a.        Perluasan wilayah

Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak terus dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi militer yang terencana secara cermat. Beberapa wilayah berhasil dikuasai meliputi Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhoders dan bagian yang tersisa dari Persia.

b.        Pembukuan al-Qur’an

Pada masa Usman terjadi perselisihan mengenai cara baca al-Qur’an, Usman memutuskan untuk melakukan penyeragaman cara baca al-Qur’an. Cara baca inilah yang secara resmi dipakai oleh kaum muslimin. Untuk itu setelah pembukuan al-Qur’an selesai, dibuatlah beberapa salinannya untuk dikirim ke Mesir, Syam, Yaman, Kuffah, Basrah dan Makkah. Satu mushaf disimpan di Madinah. Mushaf-mushaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushaf Usmani.. saat itu Usman mengharuskan umat Islam untuk menggunakan al-Qur’an hasil salinan yang telah disebarkan tersebut. Sementara mushaf al-Qur’an dengan cara baca yang lainnya dibakar, dengan demikian perselisihan berhasil dihindari.

Link Vidio bisa di klik:

Vidio Pembelajaran Khalifah Ustman Bin Affan

KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB

 1.           Mengenal Umar bin Khathab

Umar bin Khathab lahir 13 tahun setelah kelahiran Rasulullah SAW. Nama lengkapnya Umar bin Khathab bin Nufail bin Adi bin Kaab bin Luay. Umar menghabiskan separuh dari perjalanan hidupnya pada masa jahiliyah. Ia tumbuh pada masa itu, sebagaimana anak-anak Quraisy lainnya. Ia mengungguli anak-anak Quraisy lainnya karena ia termasuk orang yang mau belajar dan pandai baca tulis. Sejak kecil ia tumbuh dan berkembang dalam kehidupan yang keras.

Sebelum masuk Islam Umar sudah terbiasa menyelesaikan berbagai sengketa yang terjadi di kalangan bangsa Arab. Umar terkenal sebagai orang yang bijaksana, bicaranya fasih, penyantun, argumentasinya kokoh dan gigih mempertahankan segala sesuatu yang sudah menjadi tradisi suku Quraisy berupa ritual peribadatan dan sistem sosial.

Beliau dididik menjadi sosok yang yang memiliki kemuliaan dan keberanian, tidak segan menyatakan kebenaran tanpa tedeng aling-aling. Ketika Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi, Umar berusia 27 tahun. Pada awalnya dia tidak mau menerima kebenaran Risalah ini, hingga ia memusuhi Islam sampai banyak kaum muslim menderita akibat ulahnya.

Ketika terjadi peristiwa hijrah ke Habasyah, Umar melihat kaum muslim sangat memegang teguh keyakinannya, dan begitu siap menanggung beban penderitaaan karenanya, bahkan kalaupun harus berpisah dengan tanah kelahirannya. Semua itu mendorong dirinya untuk membuka hati mendengar seruan dakwah Islam.

Terdapat banyak pendapat tentang bagaimana Umar bin Khathab masuk Islam, semua itu tidak lepas dari doa Rasulullah SAW. Ya Allah, mulaikanlah Islam dengan orang yang paling Engkau cintai dari kedua orang ini, dengan Abu Jahl bin Hisyam atau dengan Umar bin al-Khathab” (HR.at-Tirmidzi). Doa Rasulullah SAW inilah yang menjadi faktor utama Umar masuk Islam.

Keislaman Umar bin Khathab membuat Islam semakin kuat, dakwah Rasulullah SAW yang semula dilakukan dengan sembunyi-sembunyi lambat laun dilakukan dengan terang-terangan. Rasulullah SAW melihat telah tiba saatnya untuk berdakwah secara terang-terangan.

Dakwah Islam telah kuat dan dapat membela dirinya sendiri. Beliau keluar dari Darul Arqam bersama kaum muslimin dengan membentuk dua barisan. Satu barisan dipimpin oleh Umar bin Khathab dan satu barisan lagi dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Muthalib

Tatkala orang-orang Quraisy melihat Umar dan Hamzah memimpin barisan kaum muslimin, mereka terlihat sangat bersedih dan terpukul, kesedihan yang belum pernah dialami oleh kaum kafir Quraisy, saat itulah Rasulullah memberikan gelar Al- Faruq (pembeda antara yang haq dan yang bathil).

Ketika ada perintah hijrah ke Yasrib, kaum muslim melakukan perjalanan secara diam-diam karena takut mendapat serangan, Umar bin Khathab menyatakan dengan terang-terangan bahwa dia akan berhijrah, seraya berkata “barangsiapa yang menginginkan ibunya kehilangan anaknya, temuilah aku dibalik lembah ini”. Umar pun berangkat hijrah tanpa ada yang membuntuti. Umar pun tiba di Madinah dan menjadi pembantu setia Rasulullah SAW.

2.           Pengangkatan Umar bin Khathab

Ketika Abu Bakar menderita sakit dan merasa sakitnya semakin parah, beliau mengumpulkan beberapa orang pemuka sahabat. Di hadapan mereka Abu Bakar mengatakan, “kalian telah melihat keadaanku seperti ini, aku kira sakit yang aku derita kali ini akan mengantarkanku kepada ajalku. Karenaanya, hendaklah kalian memilih orang-orang yang paling kalian cintai untuk menjadi pemimpin kalian. Bila kalian memilihnya selagi aku masih hidup, maka yang demikian itu lebih baik agar kalian tidak berselisih sepeninggalku”.

Inilah yang disebut sebagai wilayatul ‘ahdi. Manusia senantiasa merasa bahwa diri mereka mampu menjadi khalifah dan lebih berhak untuk itu, karena itu, jika orang-orang dibiarkan begitu saja tanpa ada pesan atau wasiat pengangkatan seseorang menjadi khalifah, maka kesatuan dan persatuan yang telah terwujud bisa terancam berserakan.

Para sahabat bermusyawarah, namun tidak ada satu orang sahabatpun yang bersedia dipilih dan pada akhirnya mengembalikan sepenuhnya kepada Abu Bakar. Dalam hal ini kemudian Abu Bakar memanggil sahabatnya, Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan serta beberapa sahabat yang lain untuk dimintai pendapat tentang sosok Umar bin Khathab. Merekapun sependapat bahwa Umar bin Khathab adalah orang yang tepat untuk menjadi khalifah selanjutnya.

Ketika pendapat sudah bulat, Abu Bakar memanggil Usman bin Affan dan mendiktekkan wasiat kepadanya: “BismilLahirrahmanirrahim. Inilah pesan Abu Bakar bin Abu Quhafah kepada kaum muslim. Amma Ba’du; sesungguhnya aku telah menunjuk Umar bin Khathab sebagai penggantiku yang akan memimpin kalian. Maka hendaklah kalian mendengar dan mematuhi dia. Hendaklah kalian berbuat kebajikan. Bila dia berlaku adil, maka itulah dugaan dan batas pengetahuanku mengenai dia. Bila dia bertindak aniaya, maka setiap orang akan memperoleh balasan dari dosa yang telah diperbuatnya. Aku hanya menghendaki kebaikan dan aku tidak mengetahui perkara yang ghaib”.

Sesungguhnya aku telah menunjuk Umar bin Khathab untuk memimpin kalian, maka dengar dan taatilah, kaum muslimin menjawab, “Kami mendengar dan kami Taat”.

Umar mulai memegang tampuk ke-Khalifahan pada hari selasa 22 Jumadil Tsani tahun 13 H, bertepatan dengan 13 Agustus tahun 634 M. Umar bin Khaathab wafat 3 Dzulhijjah tahun 23 H, dengan masa kepemimpinan 10 tahun 6 bulan 10 hari.

3.           Substansi dan Strategi Dakwah Umar bin Khathab

Pada masa pemerintahan Umar bin Khathab gelombang ekspansi semakin meningkat. Setelah Damaskus berhasil dikuasai, setahun kemudian Syiria jatuh dalam kekuasaan  Islam.  Dengan  menggunakan  Syiria  sebagai  basis  pertahanan, ekspansi berhasil diteruskan hingga ke Mesir dibawah pimpinan Amr bin Ash dan ke Iraq dibawah pimpinan Saad bin Abi Waqash. Dengan demikian pada masa kepemimpinan Umar bin Khathab wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia,Palestina, Syiria,sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Selain perluasan wilayah, Umar bin Khathab melakukan beberapa strategi kepemimpinannya dengan beberapa hal berikut:

a.      Mengatur Administrasi Negara

Dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang di Persia, Umar bin Khathab mengatur pemerintahan menjadi delapan propinsi; Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir

b.      Mengeluarkan Undang-undang

Pada masa Umar mulai ditertibkannya undang-undang dengan mengadakan kebijakan peraturan perundangan mengenai ketertiban pasar, ukuran dalam jual beli dan mengatur kebersihan jalan pasar.

c.      Membentuk Departeman

Beberapa departemen yang didirikan untuk menyokong roda pemerintahan adalah; jawatan kepolisian yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, penertiban system pembayaran gaji dan pajak tanah, mendirikan pengadilan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan eksekutif, departemen pekerjaan umum dan mendirikan Baitul Mal yang pada masa Umar mulai diterbitkannya mata uang dan juga ditetapkannya tahun hijriyah dengan perhitungan hijrah Rasulullah SAW ke Yasrib sebagai tahun pertama Hijriyah.

Klik Disini

Vidio Pembelajaran Khalifah Umar Bin Khattab

Semoga bermanfaat

KHALIFAH ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ


1.           Mengenal Abu Bakar as-Shidiq

Abu Bakar dilahirkan dua tahun setelah Tahun Gajah yang bertepatan dengan tahun kelahiran Rasulullah Saw. nama asli Abu Bakar adalah Abdullah, dan diberi julukan Abu Bakar (Bakr adalah nama unta yang masih muda). Nama lengkapnya adalah Abu Bakar bin Abu Quhafah bin Murrah bin Kaab bin Luay bin Ghalib bin Fihr.

Pada masa jahiliyah Abu Bakar adalah teman akrab Rasulullah SAW yang selalu bersama-sama mencari Tuhan dan tetap konsisten dengan akhlak mulia. Abu Bakar sering menemani Rasulullah SAW dalam perjalanan dagang ke Negeri Syam, demikian juga ketika seorang pendeta yang menyampaikan tanda-tanda kenabian kepada Abu Thalib dalam sebuah perjalanan dagang ke Negeri Syam, Abu Bakar turut serta dalam rombongan tersebut.

Saat dewasa, Abu Bakar menjadi penduduk Quraisy yang sangat banyak pengetahuannya, khususnya tentang sejarah dan peninggalan masa lalu. Dia pun menjadi  saudagar  yang kaya  raya, berakhlak mulia, dan selalu menepati  janji. Abu Bakar  dikenal  sebagai orang yang cerdas, bijaksana  dan  lemah  lembut.  Sejak memasuki usia baligh beliau tidak pernah menyembah berhala, Abu Bakar sangat menyadari betapa batil dan semrawutnya kehidupan beragama di Makkah kala itu.

Dalam jiwanya terdapat keberanian bagai singa yang dapat menggoncang orang yang berusaha menggoyangkan keiamanannya. Ketika Rasulullah SAW dimuliakan dengan kerasulannya, Abu Bakar menjadi Assabiqunal Awwalun tanpa keragu-raguan sedikitpun dalam hatinya, sampai-sampai Rasulullah SAW berkata “Tidaklah aku mengajak seseorang memeluk Islam melainkan dirinya dihinggapi keragu-raguan, berbeda halnya dengan Abu Bakar”.

Ketika Rasulullah SAW diisrakan dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa, orang-orang mempertanyakan kebenaran peristiwa itu, bahkan banyak diantara mereka yang mendustakan Muhammad, tapi tidak demikian dengan Abu Bakar, beliaulah orang yang pertama mempercayai peristiwa itu dan mengimaninya hingga beliau diberi gelar Ash-Shidiq.

Dalam peristiwa hijrah ke Madinah, Abu Bakar mendapat kehormatan menemani Rasulullah Saw dan menjadi salah seorang yang berada dalam gua. Dalam sejarah peperangan membela Islam, Abu Bakar selalu ikut serta, tidak ada satu pertempuranpun yang tidak diikutinya. Abu Bakar menjadi pemegang ar-rayah dalam perang Tabuk. Abu Bakar diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk memimpin rombongan haji pada tahun kesembilan hijriyah. Ketika Rasulullah SAW sakit, Abu Bakar diperintahkan oleh beliau menggantikannya menjadi imam sholat

2.           Pengangkatan Abu Bakar as-Shiddiq

Tatkala tersiar kabar tentang meninggalnya Rasulullah SAW, kaum muslimin diliputi kebimbangan tentang siapa pengganti pemimpin mereka. Banyak diantara mereka yang tidak mempercayai berita tersebut dan menganggap bahwa Rasulullah SAW belum meninggal. Dalam keadaan seperti ini Abu Bakar berseru kepada seluruh kaum muslimin dengan pidatonya: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang menyembah kepada Muhammad, maka Muhammad telah meninggal dunia. Dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka Allah tidak pernah akan mati selamanya”

Abu Bakar kemudian membaca kan firman Allah Q.S. Ali Imran ayat 144:

 “Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur. (QS. Ali Imran 3: 144)

Demi mendengar pidato Abu Bakar tersebut, kaum muslimin menyadari bahwa Rasulullah SAW benar telah meninggalkan mereka, dan jika bukan karena kebesaran jiwa Abu Bakar, mungkin kaum muslimin tidak bisa menerima kenyataan tersebut.

Kebimbangan selanjutnya adalah tentang siapakah sosok yang dapat menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW. Saat itu, kaum Anshar terbagi menjadi dua golongan besar, Aus dan Khazraj. Mereka berkumpul di Saqifah Bani Saidah (sebuah Balai Irung atau tempat pertemuan) bermaksud memilih pengganti Rasulullah SAW dari kalangan mereka dengan menunjuk Saad bin Ubadah. Kaum Anshar merasa berhak atas jabatan itu karena merekalah yang menolong kaum muslimin ketika hijrah ke Madinah.

Pertemuan di Saqifah Bani Saidah tersebut didengar oleh kaum Muhajirin. Maka Abu Bakar, Umar diikuti sahabat yang lainnya menuju Saqifah Bani Saidah. Muhajirin dan Anshar merasa berhak atas kepemimpinan itu, maka Abu Bakar berkata: “Baik kami dari golongan Muhajirin maupun kalian golongan Ansor merupakan saudara satu agama yang senantiasa menyeru kepada kebaikan melawan kebatilan. Jika kalian menyebutkan tentang kebaikan-kebaikan yang telah kalian lakukan, memang begitulah kenyataannya

Saat itu Abu Bakar bermaksud mempersilahkan kepada kaum Muhajirin dan Anshar untuk memilih diantara Umar bin Khathab dan Abu Ubadah menjadi pemimpin mereka, namun Umar bin Khathab berkata “Bukalah tanganmu Wahai Abu Bakar, bukankah Rasulullah SAW telah menyuruhmu menjadi imam sholat bagi kaum muslimin? Jika Rasulullah Saw sudah percaya kepadamu mengenai soal agama, maka kami akan mempercayai engkau untuk urusan keduniaan, kami serahkan urusan kepemimpinan ini kepada engkau, engkaulah orang kedua yang berada dalam gua waktu itu, dan engkaulah orang yang paling dicintai Rasulullah SAW daripada kami.

Kemudian Umar membai’at Abu Bakar diikuti kaum muslimin. Dengan demikian, selesai dan sempurnalah pemba’iatan Abu Bakar, karena mayoritas kaum muslimin membai’atnya, dimana para sahabat terkemuka saat itu berada di Madinah, kecuali Ali bin Abi Thalib yang sedang mengurus jenazah Rasulullah SAW.

Masa kepemimpin Abu Bakar yang sangat singkat yaitu 2 tahun 3 bulan 10 hari digunakan untuk menata kembali aqidah kaum muslim setelah tergoncang dengan kepergian Rasulullah Saw. Abu Bakar wafat pada 21 Jumadil Akhir tahun 13 H/ 22 Agustus 634 M. setelah menderita sakit selama kurang lebih 15 hari lamanya. kemudian beliau dimakamkan di kamar Aisyah, disamping makam Rasulullah  SAW.

3.           Substansi dan Strategi Dakwah Abu Bakar as-Shiddiq

Masa kepemimpinan Abu Bakar yang singkat banyak dihabiskan untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul akibat wafatnya Rasulullah SAW. Berbagai hal yang dilakukan Abu Bakar dalam kepemimpinannya tidak lain adalah ingin mewujudkan stabilitas dan membangun kembali masyarakat Muslim yang bersatu. Beberapa strategi dilakukan Abu Bakar antara lain:

a.            Peristiwa Riddah

Meninggalnya Rasulullah Saw banyak menimbulkan gejolak dikalangan umat Islam, salah satunya adalah kaum murtad. Mereka menyatakan keluar dari Islam, ada juga yang masih beriman dan menjalankan sholat tetapi tidak mau menunaikan zakat karena beranggapan bahwa meninggalnya Rasulullah SAW berarti menggugurkan kewajiban mereka untuk menunaikan zakat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar.

Karena sikap keras kepala dan penentangan yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut perang Riddah (perang melawan keumurtadan. Khalid bin Walid adalah jendral yang banyak berjasa dalam perang Riddah ini.

Masa pemerintahan Abu Bakar hampir sama dengan pada masa Rasulullah Saw, bersifat sentral, kekuasaan legislative, ekskutif, dan yudikatif terpusat ditangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti halnya Rasulullah SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah.

b.           Kodifikasi al-Qur’an

Munculnya perang Riddah menimbulkan banyak korban termasuk para penghafal al-Qur’an. Kenyataan ini sangat menghawatirkan dan merugikan. Oleh karena itu Umar bin Khathab mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an menjadi satu buku.

Khalifah kemudian menunjuk Zaid bin Sabit untuk memimpin pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Zaid bin Sabit ditunjuk karena ia adalah sosok pemuda yang cerdas dan berpengalaman mencatat ayat-ayat al- Qur’an. Proses kodifikasi ini berlangsung hingga masa pemerintahan khalifah ketiga Usman bin Affan.

c.            Perluasan Wilayah

Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, Abu Bakar berkonsentrasi merealisasikan cita-cita Rasulullah Saw mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Syiria dibawah pimpinan Usamah. Selain itu Abu Bakar menugaskan empat orang panglima yang berkonsentrasi mempersiapkan ekspedisi militer ke Syam. Beliau mengirimkan lima devisi pasukan dengan tugas sebagai berikut:

1.    Abu Ubaidah Ibn Jarrah, sahabat yang dijuluki amin hadzihi al-ummah (orang terpercaya dari umat Islam) dikirimkan ke Himsh dan Humah

2.            Yazid bin Abu Sufyan dikirim ke Damaskus

3.            Syurahbil ibn Hasanah dikirim ke Yordania

4.            Amr bin Ash dikirim ke Palestina

5.            Ikrimah ibn Abu Jahal, pasukannya ditugaskan untuk selalu siap siaga menyokong keempat devisi diatas bila membutuhkan bantuan.


Link Vidio bisa diklik:

Vidio Pembelajaran Materi Khalifah Abu Bakar As Shiddiq