Daulah Umayyah merupakan dinasti Islam pertama
yang didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 40 H. Berdirinya daulah ini mengalami proses
perjalanan yang cukup panjang, sejak akhir masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib
ketika itu Muawiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai gubernur Syam dan
keinginannya untuk menjadi gubernur di Damaskus sampai kemudian memperoleh
estafet kepemimpinan dari Hasan bin Ali. Secara singkat dapat dijelasakan
proses berdirinya Daulah Umayyah sebagai berikut:
1.
Perang Siffin
Akhir masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib
diwarnai dengan serangkaian pemberontakan. Ikhwal muncul pemberontakan berasal
dari ketidak puasan sekelompok masyarakat atas sikap Ali bin Abi thalib
terhadap para pembunuh Usman bin Affan. Dari peristiwa itu muncullah perang
Jamal yang diprakarsai oleh beberapa sahabat diantaranya Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam diantaranya dan juga Aisyah r.a.. Perang
Jamal berakhir dengan damai.
Kebijakan Ali bin Abi Thalib yang mengganti
beberapa gubernur yang diangkat oleh Usman bin Affan sedikit banyak menimbulkan
gejolak di beberapa wilayah. Muawiyyah sebagai gubernur Syam waktu itu termasuk
yang terkena imbas dari kebijakan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah tidak mau
melepaskan jabatannya sebagai Gubernur Syam sebelum Ali bin Abi Thalib
menghukum para pembunuh Usman. Sementara Ali bin Abi Thalib sebagai seorang
khalifah menganggap berhak memecat Muawiyah dan belum saatnya menghukumi para
pembunuh Usman dengan alasan meredam gejolak umat Islam yang sedang dalam masa
transisi.
Masing-masing pihak bersikukuh dengan sikapnya, hingga muncullah perang Siffin. Perang Siffin sendiri berlangsung selama beberapa hari pada bulan Dzulhijjah tahun 36 H. dan pada saat pasukan Ali bin Abi Thalib yang dipimpin oleh Aystar mulai menampakkan tanda-tanda kemenangan, muncullah beberapa orang dari pihak Muawiyyah mengangkat Mushaf Al-Qur’an sebagai tanda perdamaian.
2. Tahkim
Setelah melalui berbagai pertimbangan akhirnya
pasukan Ali bin Abi Thalib menerima tawaran damai tersebut dengan pertimbangan
agar tidak bertambah lagi korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Kedua belah
pihak bersepakat untuk mengembalikan keputusan kepada kitabullah dan menunjuk
utusan masing-masing pihak untuk mengadakan perundingan.
Dari pihak Ali bin Abi Thalib ditunjuklah Abu
Musa al-Asy’ari dan dari pihak Muawiyah ditunjuklah Amr bin Ash. Mereka
bersepakat dengan sebuah perjanjian Tahkim yang salah satu keputusannya adalah
sepakat untuk genjatan senjata dan memutuskan untuk mengembalikan persoalan
umat kepada kitabullah.
Ketika tiba saat yang ditentukan
kedua belah pihak berkumpul untuk memutuskan perdamian dikalangan umat Islam,
dengan masing-masing kubu membawa 400 pasukan. Mereka berkumpul disebuah tempat
bernama Daumatul Jandal, tepatnya di Adzruh. Abu Musa Al-Asy’ari diberi
kesempatan oleh Amr bin Ash untuk menyampaikan pidatonya di hadapan pasukan: “saudara-saudara kami telah mengkaji
persoalan ini, maka kami tidak melihat keputusan
yang paling tepat
dan
paling bisa
menghidarkan kekacauan sekarang ini yang sama-sama disepakati
olehku dan
oleh Amr selain
satu saja, kita
mencopot Ali dan
Muawiyah dari
jabatannya, hadapilah urusan ini dan angkatlah orang yang menurut
kalian berhak
menjadi kepala Negara kalian”
Abu Musa mundur dari mimbar dan
kemudian Amr bin Ash maju dan
berdiri di mimbar, lalu menyampaikan pidatonya: “Abu Musa telah menyampaikan pernyataan seperti yang telah kalian dengar
tadi, dia telah mencopot sahabatnya (Ali bin Abi Tholib), dan akupun mencopot
sahabatnya itu seperti yang dia lakukan. Dan aku kokohkan kedudukan sahabatku,
karena dialah ahli waris Usman, dan pihak yang paling berhak menggantikan
kedudukan Usman.
Demikianlah pada akhirnya tahkim tidak dapat
memuaskan kedua belah pihak terutama dari pihak Ali bin Abi Thalib dan para
pendukungnya, walaupun pihak Muawiyah tidak mendapatkan dukungan dari kubu Ali
namun paling tidak dalam keputusan tersebut terdapat pernyataan bahwa kekuasaan
tidak lagi berada di tangan Ali dan
kemudian diserahkan kepada kaum Muslim untuk memilih pemimpin yang mereka
inginkan, dan pada saat itu Muawiyah memiliki pasukan yang cukup besar
yang
dipilihnya, dan tidak ada seorangpun yang bisa menandingi kekuatannya, sehingga
keinginannya untuk menjadi khalifah kaum muslim pun semakin besar.
Dengan putusan Tahkim tersebut, posisi Muawiyah menjadi kuat, dia di bai’at menjadi khalifah oleh penduduk Syam dan berturut-turut dia mencari kekuatan dukungan dari Mesir dan memberangkatkan pasukan ke beberapa wilayah yang dikuasai Ali bin Abi Thalib. Kekecewaan pun muncul dari pendukung Ali yang kemudian keluar dari golongan Ali dan menamakan dirinya sebagai golongan Khawarij.
3.
Amul Jamaah
Setelah Ali bin Abi Thalib wafat atas kekejaman
Khawarij, maka dibai’atlah Hasan bin Ali menjadi Khalifah selanjutnya. Hasan
bin Ali memiliki pandangan yang tepat terkait beberapa kondisi yang ada di
sekelilingnya, dia melihat tentaranya tidak bisa dipercayainya, musuhnya
sedemikian kuat watak dan tekadnya. Selain itu Hasan sendiri tidak menyukai
kekacauan dan lebih menginginkan persahabatan dan perdamaian bagi kaum muslim.
Maka dia tidak
memiliki pilihan yang lebih bijak untuk diri dan umatnya selain turun dari jabatannya, membuat
perjanjian damai dengan sejumlah syarat yang dapat disetujui oleh kedua belah
pihak, lalu dia menuliskan pembai’atannya kepada Muawiyah, dan menyerahkan kota
Kufah kepada Muawiyah pada akhir Rabi’ul awal tahun 41 H. Ketegangan pun mereda dan kaum muslim menyebut tahun itu
sebagai Amul Jamaah (tahun persatuan).
Sumber:
Kementrian Agama Republik Indonesia. 2019. Buku Siswa : Sejarah
Kebudayaan Islam Kelas XI. Jakarta.
Bahroin Suryantara dan Suryantara. 2017. Sejarah Kebudayaan Islam
Kelas XI. Jakarta: Yudhistira.