Minggu, 28 April 2024

SEJARAH LAHIRNYA DAULAH UMAYAH DI DAMASKUS

 

Daulah Umayyah merupakan dinasti Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 40 H. Berdirinya daulah ini mengalami proses perjalanan yang cukup panjang, sejak akhir masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib ketika itu Muawiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai gubernur Syam dan keinginannya untuk menjadi gubernur di Damaskus sampai kemudian memperoleh estafet kepemimpinan dari Hasan bin Ali. Secara singkat dapat dijelasakan proses berdirinya Daulah Umayyah sebagai berikut:

1.        Perang Siffin

Akhir masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib diwarnai dengan serangkaian pemberontakan. Ikhwal muncul pemberontakan berasal dari ketidak puasan sekelompok masyarakat atas sikap Ali bin Abi thalib terhadap para pembunuh Usman bin Affan. Dari peristiwa itu muncullah perang Jamal yang diprakarsai oleh beberapa sahabat diantaranya Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam diantaranya dan juga Aisyah r.a.. Perang Jamal berakhir dengan damai.

Kebijakan Ali bin Abi Thalib yang mengganti beberapa gubernur yang diangkat oleh Usman bin Affan sedikit banyak menimbulkan gejolak di beberapa wilayah. Muawiyyah sebagai gubernur Syam waktu itu termasuk yang terkena imbas dari kebijakan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah tidak mau melepaskan jabatannya sebagai Gubernur Syam sebelum Ali bin Abi Thalib menghukum para pembunuh Usman. Sementara Ali bin Abi Thalib sebagai seorang khalifah menganggap berhak memecat Muawiyah dan belum saatnya menghukumi para pembunuh Usman dengan alasan meredam gejolak umat Islam yang sedang dalam masa transisi.

Masing-masing pihak bersikukuh dengan sikapnya, hingga muncullah perang Siffin. Perang Siffin sendiri berlangsung selama beberapa hari pada bulan Dzulhijjah tahun 36 H. dan pada saat pasukan Ali bin Abi Thalib yang dipimpin oleh Aystar mulai menampakkan tanda-tanda kemenangan, muncullah beberapa orang dari pihak Muawiyyah mengangkat Mushaf Al-Qur’an sebagai tanda perdamaian. 

2.        Tahkim

Setelah melalui berbagai pertimbangan akhirnya pasukan Ali bin Abi Thalib menerima tawaran damai tersebut dengan pertimbangan agar tidak bertambah lagi korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Kedua belah pihak bersepakat untuk mengembalikan keputusan kepada kitabullah dan menunjuk utusan masing-masing pihak untuk mengadakan perundingan.

Dari pihak Ali bin Abi Thalib ditunjuklah Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Muawiyah ditunjuklah Amr bin Ash. Mereka bersepakat dengan sebuah perjanjian Tahkim yang salah satu keputusannya adalah sepakat untuk genjatan senjata dan memutuskan untuk mengembalikan persoalan umat kepada kitabullah.

Ketika tiba saat yang ditentukan kedua belah pihak berkumpul untuk memutuskan perdamian dikalangan umat Islam, dengan masing-masing kubu membawa 400 pasukan. Mereka berkumpul disebuah tempat bernama Daumatul Jandal, tepatnya di Adzruh. Abu Musa Al-Asy’ari diberi kesempatan oleh Amr bin Ash untuk menyampaikan pidatonya di hadapan pasukan: “saudara-saudara kami telah mengkaji persoalan ini, maka kami tidak melihat keputusan yang paling tepat

dan paling bisa menghidarkan kekacauan sekarang ini yang sama-sama disepakati

olehku   dan  oleh  Amr   selain   satu   saja,   kita  mencopot  Ali dan  Muawiyah  dari

jabatannya, hadapilah urusan ini dan angkatlah orang yang menurut kalian berhak

menjadi kepala Negara kalian”

Abu Musa mundur dari mimbar dan kemudian Amr bin Ash maju dan berdiri di mimbar, lalu menyampaikan pidatonya: “Abu Musa telah menyampaikan pernyataan seperti yang telah kalian dengar tadi, dia telah mencopot sahabatnya (Ali bin Abi Tholib), dan akupun mencopot sahabatnya itu seperti yang dia lakukan. Dan aku kokohkan kedudukan sahabatku, karena dialah ahli waris Usman, dan pihak yang paling berhak menggantikan kedudukan Usman.

Demikianlah pada akhirnya tahkim tidak dapat memuaskan kedua belah pihak terutama dari pihak Ali bin Abi Thalib dan para pendukungnya, walaupun pihak Muawiyah tidak mendapatkan dukungan dari kubu Ali namun paling tidak dalam keputusan tersebut terdapat pernyataan bahwa kekuasaan tidak lagi berada di tangan Ali dan kemudian diserahkan kepada kaum Muslim untuk memilih pemimpin yang mereka inginkan, dan pada saat itu Muawiyah memiliki pasukan yang cukup besar

yang dipilihnya, dan tidak ada seorangpun yang bisa menandingi kekuatannya, sehingga keinginannya untuk menjadi khalifah kaum muslim pun semakin besar.

Dengan putusan Tahkim tersebut, posisi Muawiyah menjadi kuat, dia di bai’at menjadi khalifah oleh penduduk Syam dan berturut-turut dia mencari kekuatan dukungan dari Mesir dan memberangkatkan pasukan ke beberapa wilayah yang dikuasai Ali bin Abi Thalib. Kekecewaan pun muncul dari pendukung Ali yang kemudian keluar dari golongan Ali dan menamakan dirinya sebagai golongan Khawarij.

3.        Amul Jamaah

Setelah Ali bin Abi Thalib wafat atas kekejaman Khawarij, maka dibai’atlah Hasan bin Ali menjadi Khalifah selanjutnya. Hasan bin Ali memiliki pandangan yang tepat terkait beberapa kondisi yang ada di sekelilingnya, dia melihat tentaranya tidak bisa dipercayainya, musuhnya sedemikian kuat watak dan tekadnya. Selain itu Hasan sendiri tidak menyukai kekacauan dan lebih menginginkan persahabatan dan perdamaian bagi kaum muslim.

Maka dia tidak memiliki pilihan yang lebih bijak untuk diri dan  umatnya selain turun dari jabatannya, membuat perjanjian damai dengan sejumlah syarat yang dapat disetujui oleh kedua belah pihak, lalu dia menuliskan pembai’atannya kepada Muawiyah, dan menyerahkan kota Kufah kepada Muawiyah pada akhir Rabi’ul awal tahun 41 H. Ketegangan pun mereda dan kaum muslim menyebut tahun itu sebagai Amul Jamaah (tahun persatuan).

Sumber:

Kementrian Agama Republik Indonesia. 2019. Buku Siswa : Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI. Jakarta.

Bahroin Suryantara dan Suryantara. 2017. Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI. Jakarta: Yudhistira.